Kepala BP2MI, Benny Rhamdani mengaku, pihaknya akan mendorong diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penempatan dan Pelindungan ABK Pelaut Niaga dan Perikanan, sebagai instrumen hukum turunan UU 18 Tahun 2017.
"BP2MI juga siap menerima mandat untuk mengelola penempatan PMI secara keseluruhan termasuk ABK sebagai mandat UU 18 Tahun 2017," kata Benny Rhamdani melalui keterangan yang diterima
Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (9/5).
Langkah tersebut, lanjut politikus Partai Hanura ini, adalah untuk memutus mata rantai tata kelola yang tidak memihak kepada PMI. Karena, kejadian yang menimpa Muh. Alfatah, Sepri, dan Ari adalah momentum perbaikan tata kelola pekerja migran ABK.
"Yang terpenting adalah BP2MI mengharapkan untuk segera diakhiri ego sektoral dalam penanganan ABK dalam proses penempatan maupun pelindungannya," pungkas Benny Rhamdani.
Berdasarkan data BP2MI, pengaduan terkait ABK selama tahun 2018 hingga 6 Mei 2020 tercatat sebanyak 389 aduan. Lima jenis pengaduan terbesar adalah gaji yang tidak dibayar (164 kasus), meninggal dunia di negara tujuan (47 kasus), kecelakaan (46 kasus), ingin dipulangkan (23 kasus), dan penahanan paspor atau dokumen lainnya oleh P3MI/manning agency (18 kasus).
Sementara itu, pengaduan ABK terbanyak dibuat oleh para ABK Indonesia dengan negara penempatan Taiwan (120 kasus), Korea Selatan (42 kasus), Peru (30 kasus), China (23 kasus), dan Afrika Selatan (16 kasus).
Dari total 389 kasus yang masuk ke BP2MI, sebanyak 213 kasus telah selesai ditangani (54,8 persen) dan 176 kasus masih dalam proses penyelesaian.
Namun, kendala yang dihadapi untuk kasus ABK ini adalah belum adanya aturan turunan yang mengatur perlindungan secara khusus bagi PMI ABK. Di samping itu, data ABK sering kali tidak terdaftar di BP2MI, khususnya ABK yang memiliki risiko permasalahan yang tinggi.