Ada satu UU yang akan sedikit mengganjal langkah mantan gubernur DKI Jakarta dalam menjalankan hak prerogatifnya, yaitu UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. Khususnya pasal 19 ayat 1.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) FH Universitas Jember Bayu Dwi Anggoro menguraikan bahwa Jokowi diharuskan UU itu untuk mendapat pertimbangan dari DPR sebelum membubarkan atau membentuk kementerian baru.
"Kita lihat di pasal 19 ayat 1 misalnya, dalam hal perubahan pembubaran kementerian, presiden diharuskan meminta pertimbangan kepada DPR," ujar Bayu dalam jumpa pers Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6, di Hotel JS Luwansa, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (4/9).
Bahkan Bayu menilai ayat tersebut bisa memicu perbedaan pandangan antara presiden dan juga anggota DPR. Padahal, jika berdasarkan sistem presidensial, pembentukan kabinet adalah kewenangan penuh dari presiden.
"UU itu kemudian menjadi seakan-akan melibatkan DPR dalam banyak hal penyusunan kabinet," tuturnya.
Dia mengingatkan, kerangka konstitusional mengenai kabinet terletak pada pasal 17 UUD 1945. Pasal itu berbunyi, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dalam bekerja. Adapun para menteri yang membantu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
“Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU,†terangnya.
Dalam pasal tersebut jelas bahwa dalam kontitusi, pengangkatan, dan pemberhentian menteri sepenuhnya ada di bawah kekuasaan presiden tanpa harus meminta persetujuan kepada DPR.
“DPR bertugas sebagai regulasi, legislasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), hingga anggaran pengawasan. Jadi saya harap ada perbaikan dalam UU tersebut,†pungkasnya.
BERITA TERKAIT: