Identitas keindonesiaan dan kepribadian bangsa terkikis sangat massif. Banyaknya elit politik di negeri ini yang malah menjadi dalang dan perusak moral dan etika berbagai sektor kehidupan di Indonesia.
Ketua Pusat Bantuan Hukum Advokasi Masyarakat (PBHAM) Anggiat Gabe Maruli Sinaga menuturkan, fenomena yang terjadi di Indonesia hari-hari ini tidak hanya terjadinya kerusakan moral dan etika dalam berpolitik, tetapi juga dalam penegakan hukum, ekonomi dan sosial budaya, maupun aspek kehidupan lainnya.
Menurut dia, pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, fenomena perpolitikan Indonesia malah ditandai dengan terjadinya kemunduran dalam tradisi berpolitik. Lihat saja, para politikus sibuk serang menyerang, saling menuduh, saling melapor, menebar kebencian, menghalalkan semua cara untuk berkuasa.
"Perilaku korupsi, kolusi, nepotisme ternyata masih tumbuh subur di negeri Indonesia. Peristiwa ini dibuktikan dengan banyaknya oknum pejabat, politisi, birokrat, aparat penegak hukum yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka semua itu rata-rata berada dalam level elit. Merekalah para elit yang secara sadar melakukan pengrusakan moral dan etika dari kepribadian bangsa ini," tutur Anggiat Gabe Maruli Sinaga di Jakarta, Minggu (6/1).
Pria yang berprofesi sebagai advokat ini mengingatkan, salah seorang pendiri negera Indonesia, founding father Bung Karno, telah menekankan pilar yang kuat yakni berkepribadian dalam kebudayaan, dalam membangun peradaban Indonesia.
Perilaku masyarakat Indonesia saat ini, terutama perilaku elitnya, menjadi antitesa dari budaya Indonesia yang seharusnya lebih mengutamakan toleransi, saling menghormati perbedaan.
"Faktanya, kini, budaya rasa bersalah atau
guilt culture dan budaya malu atau
shame culture dalam masyarakat Indonesia sudah mulai luntur," tegas Gabe.
Ia mengutip pendapat Prof J Sahetapy yang menyebut '
Di era Reformasi ini banyak seperti Pontius Pilatus.' Mereka yang di zaman Seoharto, ikut berkuasa dan mencuci tangan mereka yang kotor KKN dan membasuh tangan yang berdarah akibat pelanggaran HAM.
Kerusakan itu harus diperbaiki. Sebab, kerusakan sudah terjadi di dunia pendidikan. Anggiat Gabe menyarankan, selain menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat untuk sadar diri dan segera memperbaiki kerusakan yang terjadi, para elit pun harus terlebih lagi berhenti melakukan pengrusakan.
Untuk sektor pendidikan, lanjutnya, harus dimulai dari tingkat pendidikan terendah hingga perguruan tinggi.
"Mesti dibuat kurikulum secara bertahap, yang isinya menanamkan pola pikir dan tingkah laku yang berlandaskan etika dan moral Keindonesiaan," ujar Anggiat Gabe.
Sejak dini, masyarakat juga harus sadar, para elit yang duduk sebagai pejabat mulai dari tingkat desa, eksekutif, legislatif dan yudikatif harus bersih dari watak maupun perusak etika dan moralitas. Kalau perlu, dari sekarang harus menghentikan memilih para elit yang tidak memiliki etika dan moralitas Indonesia pada kontestasi politik mendatang.
Dengan demikian, Indonesia yang dikenal dunia sebagai masyarakat yang beradab dengan kepribadian dalam kebudayaan menjadi nyata.
"Bung Karno pernah mengatakan, bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka," ujarnya.
Idealnya, lanjut eks aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini, politik itu mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Politik juga memiliki tujuan yang mulia untuk menyejahterahkan kehidupan masyarakat.
Etika berasal dari bahasa Yunani "
ethos", yang seharusnya menuntun orang jujur dan benar berperilaku yang baik.
"Politik tanpa etika dan moral akan melahirkan sebuah peradaban yang bar-bar. Tujuan politik idealnya adalah memperjuangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Ini harus dipegang teguh oleh masyarakat dalam menghadapi tahun politik saat ini," tutupnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: