Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pilpres 2019 Melanggar UUD 45...

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Minggu, 21 Oktober 2018, 17:51 WIB
Pilpres 2019 Melanggar UUD 45...
Ilustrasi/Net
rmol news logo Pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah hak dasar sebuah partai politik peserta pemilu yang tidak dapat dibatasi syarat ambang batas.

"UUD 1945 memberikan ruang untuk sebuah partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden-wakil presiden tanpa harus bergabung dengan partai lain," kata Ketua Umum Syarikat Alumni Institut Teknologi Bandung (SA-ITB) Muslim Armas melalui pesan elektronik yang dipancarluaskan, Minggu (21/10).

Hingga saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) belum memutuskan apakah menerima atau menolak gugatan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa ambang batas capres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019 disampaikan sejumlah akademisi, aktivis, pegiat pemilu.

Muslim mengatakan aturan soal pencalonan capres-cawapres dinyatakan UUD 1945 Pasal 6A ayat 2. Pasal ini berbunyi "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum".

Alumni ITB yang tergabung dalam SA-ITB, jelas Muslim, berpandangan jika Pilpres 2019 dipaksakan harus menggunakan ambang batas maka dengan sendirinya melanggar UUD 1945 sebab menggunakan suara hasil Pileg 2014 sebagai acuan.

"Bagaimana mungkin sebelum Pemilu sudah ada hasil kursi/suara untuk penentuan ambang batas pengusulan capres-cawapres. Dan juga bagaimana mungkin hasil Pemilu 2014 digunakan dua kali, yakni di Pilpres 2014 dan di Pilpres 2019," kata dia.

Dinyatakan Muslim saat ini ada parpol peserta Pemilu 2019 yang tidak bisa mengusung capres-cawapres dikarenakan aturan ambang batas tersebut. Padahal sesuai UUD 45 adalah hak dasar partai politik yang akan mengikuti Pemilu untuk mengusung capres-cawapres pilihannya.

"Hasil Pileg 2014 digunakan untuk dua kali Pilpres dan ternyata bisa digunakan mendukung capres yang berbeda/berseberangan di Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019. Bagaimana mungkin suara rakyat yang sama digunakan untuk mendukung capres-cawapres yang berbeda?" kata dia lagi

Indonesia, sebut Muslim, menganut sistem presidensial sehingga tidak ada kepentingan menerapkan ambang batas untuk mengusung capres-cawapres dalam Pilpres 2019. Tidak ada korelasi antara Presiden terpilih dengan jumlah kursi di parlemen.

"Tidak ada jaminan gabungan suara/kursi peserta pemilu 2014 yang lalu akan bisa mengumpulkan suara/kursi minimal sesuai ambang batas 20% saat Pemilu 2019. Malah bisa jadi tidak lagi mencapai 20%. Sehingga legitimasi pengajuan capres-cawapres yang mengacu kepada ambang batas bisa dipertanyakan," urai Muslim.

Saat ini dia berharap para Hakim MK bisa memutuskan gugatan sesuai nurani dan logika konstitusi. Dia mengingatkan hakikat demokrasi adalah memberikan kepada rakyat pilihan para pemimpin yang tidak tersandera oligarki partai.

"Bukankah akan sangat baik bagi rakyat jika tiap partai peserta pemilu mengajukan pasangan capres-cawapres terbaiknya? Semoga belum terlambat bagi Hakim MK memutuskan yang terbaik bagi rakyat," tukas dia.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA