Pasalnya, aturan serupa sesungguhnya sudah ditolak pada pembahasan revisi UU Pemilu yang sekarang menjadi UU 7/ 2017 beberapa waktu yang lalu.
Pengamat politik, Ray Rangkuti mempertanyakan usulan yang sudah disetujui oleh 10 fraksi di Komisi II itu. Menurutnya, tidak hanya melanggar UU Pemilu, aturan semacam itu juga justru bakalan membebani keuangan negara.
"Usulan mendanai saksi parpol tidak tepat karena salah satunya membebani APBN," kata Ray dalam diskusi bertajuk "Tolak Dana Saksi Pemilu Ditanggung APBN" di kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Jakarta, Kamis (18/10).
Dijelaskan Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) itu, saat pembahasan dana saksi ditanggung APBN pada UU Pemilu, pemerintah mengkalkulasi tidak kurang Rp 10 triliun dana yang harus dikeluarkan pada satu putaran saja.
Saat itu, mayoritas fraksi menilai angka ini terlampau besar untuk keuangan negara yang tengah rapuh.
Ditekankan Ray, alasan serupa harusnya lebih relevan untuk saat ini. Terlebih, baru-baru ini terjadi musibah besar yang menimpa beberapa daerah di negeri ini.
"Sangat fantastis angkanya dan sekaligus melukai nurani kita. Negeri kita kelimpungan, bahkan dengan tangan terbuka akhirnya menerima sumbangan dari negara lain. Di dalam negeri, wakil rakyatnya malah berpikir menggunakan dana negara untuk keperluan dirinya sendiri. Apa yang ada di hati nurani dan pikiran wakil-wakil rakyat ini?" pungkasnya.
[rus]