Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bahaya: Cawapresnya Badut, Politiknya Tribalis

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/arief-gunawan-5'>ARIEF GUNAWAN</a>
OLEH: ARIEF GUNAWAN
  • Jumat, 03 Agustus 2018, 13:47 WIB
Bahaya: Cawapresnya Badut, Politiknya Tribalis
Ilustrasi/Net
PILPRES 2019 ternyata semangatnya tribalisme, yaitu mengedepankan kepentingan kelompok dan keluarga (klan). Dan seperti dalam lakon pewayangan rakyat tidak mendapatkan tempat (hanya diwakili punakawan sebagai complementary).

Suku baduy primitif di Timur Tengah dan Afrika dalam memilih pemimpin mengendepankan tribalisme. Politik tribalisme yang dipertontonkan para elit penguasa hari ini hanya fokus untuk dapat duit setoran dan kekuasaan semaksimum mungkin untuk "tribal" mereka masing-masing. Kelasnya jauh di bawah politik nasionalistis dan ideologis. Bahkan dalam menentukan cawapres kriterianya tidak jelas (transaksional), sehingga muncul yang berkelas badut belaka.

Dulu para pemuda pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa terbagi dalam tiga golongan: pemuda radikal, pemuda militan, dan pemuda revolusioner. Walaupun berbeda ideologi dan kelompok mereka mengedepankan satu tujuan, yaitu memerdekakan bangsa.

Sehingga waktu itu misalnya Sukarno terpilih jadi presiden secara aklamasi. Tidak lain karena kriterianya ialah integritas, reputasi, track record, keberpihakan kepada rakyat, anti kolonialisme dan imperialisme, dan ingin mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Suatu kriteria yang saat itu sebenarnya sangat umum dimiliki oleh kaum pergerakan. Dan yang sekarang ini kriteria semacam itu dibakar dan dimusnahkan sama sekali oleh partai-partai politik yang ada, antara lain melalui politik uang, pencitraan, dan ambang batas 20 persen Presidential Threshold (PT).

Pilpres saat ini, yang akan diselenggarakan April tahun depan, banyak disebut sebagai Pilpres banci. Ambang batas 20 persen PT menggambarkan keserakahan oligarki partai-partai politik yang ada yang mengangkangi hak-hak rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak untuk jadi presiden.

Tujuan lain PT adalah untuk melanggengkan politik uang dan politik dagang sapi. Selain merefleksikan sikap pengecut, penakut, dan bancinya partai-partai politik yang ada saat ini terhadap munculnya figur calon presiden yang benar-benar diinginkan oleh rakyat. Calon presiden dengan kriteria orang pergerakan: memiliki integritas, pro rakyat, berani membela kebenaran, punya reputasi dan prestasi, dan anti neoliberalisme yang merupakan pintu masuk bagi neo-kolonialisme dan neo-imperialisme.

Di dalam UU Pemilu bikinan oligarki partai-partai disebutkan bahwa PT atau syarat parpol/gabungan partai politik bisa mengusung capres dengan memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya. Untuk Pilpres 2019 jelaslah bahwa hasil pemilu 2014 yang menjadi dasarnya. Suatu hal yang lagi-lagi mencerminkan sikap banci yang menggambarkan kerakusan dan sikap status quo partai-partai yang ada saat ini.

Perjuangan sejumlah tokoh dalam melakukan gugatan terhadap PT di Mahkamah Konstitusi (MK) supaya jadi nol persen, meski terkesan kurang mendapatkan porsi yang patut di meja pemberitaan media massa patut mendapat dukungan dari seluruh elemen demokrasi dan elemen perubahan yang menginginkan Indonesia lebih baik, agar Pilpres 2019 menghasilkan presiden yang memiliki karakter problem solver dan memiliki tipe kepribadian operational leadership. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA