Siapa yang mereka pandang tidak senang? Apalagi diungkap juga penyerangan dilakukan dari luar negeri. Siapa pula di luar sana yang peduli dan tidak senang dengan hasil Pilkada di negara ini?
Ini jelas menggelikan. Bagaimana mungkin ada pihak yang bisa mendapat manfaat dari mengganggu hasil di situs KPU? Karena faktanya KPU juga melakukan perhitungan manual dan melakukan rekapitulasi atas hal itu.
Hasil yang berbeda di situs perhitungan (
online) tidak akan bisa membatalkan hasil perhitungan manual karena perhitungan kertas suara secara langsung inilah yang valid.
Lalu untuk apa ada pihak yang ingin melakukan perubahan pada data
online kalau nyatanya secara
offline mereka kalah? Mereka tidak akan jadi pemenang. Bahkan kalau situs
online mati selamanya pun, tidak ada masalah karena tetap hasil
offline yang akan digunakan sebagai acuan hasil akhir untuk menyatakan pemenang.
Lalu apa gunanya pihak yang diduga kalah menyerang situs?
Yang paling mungkin terjadi adalah jika ada pihak di lapangan yang merekayasa hasil perhitungan manual atau perhitungan
offline.
Lalu untuk bisa melegitimasi hasil kecurangan lapangan, maka dilakukan rekayasa agar data
online juga menampilkan hasil yang sama dengan data
offline. Artinya justru pihak yang memiliki akses ke dua sisi yaitu
offline dan
online yang patut diduga tidak senang atau berkepentingan dengan data aktual hasil pilkada sesungguhnya.
Rekayasa
online dibutuhkan untuk bisa menjustifikasi rekayasa
offline. Mungkinkah pihak yang secara faktual menang di lapangan merasa perlu merekaya hasil
online? Jelas tidak.
Hanya pihak yang faktualnya kalah, yang merasa perlu menggiring opini menang lewat survei dan quick count, lalu menyerang data
online agar menyajikan hasil yang senada. Itulah kemungkinannya! Lalu siapakah itu?
[***]
Direktur Eksekutif Strategi Indonesia