Sambil tertawa mengejek mereka lalu menantang Raden Saleh untuk membuat lukisan sebagus milik mereka.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Raden Saleh menghilang. Ia tidak pernah datang ke sekolah. Karena penasaran teman-temannya mendatangi rumah Raden Saleh dan mengintip ke dalam melalui lubang pintu dan celah-celah jendela. Betapa kaget mereka melihat Raden Saleh terkapar berlumuran darah di lantai dengan sebilah pisau menancap di dada.
Teman-temannya menjadi panik dan histeris, bahkan sebagian memanggil polisi.
Di tengah ketegangan itu tiba-tiba Raden Saleh muncul, dan dengan tenangnya berkata: "Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi lukisanku bisa menipu manusia..." katanya tersenyum.
Dulu kisah ini secara turun temurun diceritakan di sekolah dan sanggar-sanggar seni dan jadi bagian penting untuk menggambarkan bakat lukis Raden Saleh yang jenius dan melegenda hingga di tingkat dunia.
Di dalam buku "Karya, Dan Misteri Kehidupan Raden Saleh: Perlawanan Simbolik Seorang Inlander", yang ditulis Katherina Achmad, bahkan antara lain disebutkan orang Eropa mengabadikan nama Raden Saleh menjadi nama sebuah kawah di planet Merkurius bersama 14 seniman terkenal dunia, pemusik, dan sastrawan.
Siapa Raden Saleh?
Dia adalah pendukung fanatik Diponegoro. Pelukis yang dengan kecintaannya sangat mengagumi Diponegoro. Keluarga besarnya yang merupakan bangsawan Jawa keturunan Arab merupakan loyalis Pangeran Diponegoro.
Raden Saleh sendiri lahir di Terbaya, Semarang. Tumbuh sebagai remaja di Kota Bogor dan meninggal dunia (serta dimakamkan) di Bogor. Di kota Bogor itu pula Raden Saleh belajar dan meniti karir sebagai pelukis atas budi baik seorang pelukis Belgia, A.A.J Payen, yang melihat bakat lukisnya yang cemerlang dan mengajaknya bekerja di 's Lands Plantentuin (Kebun Raya Bogor) serta mengikutkannya dalam studi botanis dan zoologi. Raden Saleh muda disertakannya berkeliling ke pelosok Nusantara dengan tugas mendokumentasikan flora dan fauna yang ada di tiap-tiap daerah ke dalam gambar sketsa yang dibuatnya.
Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Ontowiryo (nama kecil Pangeran Diponegoro) esensinya adalah perang melawan ekspansi asing dan aseng. Mula-mula tanah milik rakyat yang hendak dirampas Belanda, monopoli dagang, pajak yang menjerat, kebijakan ekonomi yang memelaratkan rakyat, hingga perlakuan yang menyinggung keimanan umat.
Di sisi lain Diponegoro juga bersikap kritis terhadap penguasa yang sedang bertahta yaitu Hamengku Buwono V yang pro asing dan aseng (Belanda dan para taipan China). Singkatnya, ada beberapa kesamaan yang mirip dengan keadaan Indonesia dan pemerintahan hari ini.
Kalau VOC bangkrut karena korupsi (sehingga VOC jadi Vallen on der Corruptie), kalah tekhnologi perkapalan dengan maskapai perdagangan Inggris (EIC) dan karena adanya Perjanjian Paris (1784) yang mengakhiri perang Inggris-Belanda, dimana VOC harus menghentikan monopolinya dan mengizinkan Inggris untuk berdagang di Hindia (Nusantara), maka pemerintah Hindia Belanda guncang oleh karena adanya Perang Diponegoro (Perang Jawa atau Java Oorlog) yang menguras kas negara di Nederland mencapai jutaan gulden.
Ketika akhirnya Diponegoro dilumpuhkan dengan cara dibujuk supaya mau berunding di Karesidenan Magelang tetapi akhirnya ditipu dengan ditangkap, Belanda kemudian memberlakukan Kultur Stelsel (Tanam Paksa) untuk menutupi kerugian finansial akibat Perang Diponegoro dengan memaksa rakyat menanam sejumlah komoditi unggulan perkebunan dan pertanian. Yang hasilnya ternyata sangat menguntungkan penjajah.
Para pengikut Diponegoro yang tersisa dikejar, diburu, dan ditangkapi. Salah satunya adalah keluarga besar Raden Saleh, dan Raden Saleh sendiri sengaja "dibuang" oleh Belanda ke Belanda untuk disekolahkan di sekolah lukis di sana, hingga akhirnya menjadi pelukis kerajaan Belanda, dan hampir 25 tahun tinggal berpindah-pindah di Eropa dengan mewariskan berbagai karya lukisan dan arsitektur.
Raden Saleh menjadi sosok Pangeran Jawa yang sangat populer di Eropa dengan pergaulan internasional yang sangat luas.
Terhadap para pengikuti Diponegoro yang masih tersisa di tanah Jawa Belanda tidak kenal ampun, mereka ditumpas dan dikenakan cap clandestein, yang kalau dalam istilah Orde Baru dikatakan sebagai OTB, Organisasi Tanpa Bentuk. Mereka menanam pohon sawo kecik di halaman rumah masing-masing sebagai penanda pengikut Diponegoro.
Belum lama ini capres rakyat dan tokoh nasional Dr Rizal Ramli merespon pernyataan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang ingin memindahkan makam Pangeran Diponegoro dari Makassar, Sulawesi Selatan, ke Jogjakarta. Tujuannya untuk mengembalikan marwah kepahlawanan Diponegoro ke tanah Jawa dan penghormatan kepada tokoh nasional yang telah berjasa besar itu.
Bagi capres Dr Rizal Ramli sendiri keinginan seperti itu sebaiknya dimaknai sebagai bagian dari upaya pelurusan sejarah ke porsinya yang benar, sehingga dapat menjadi obyektif, dan nilai-nilai kepahlawanan dapat dijadikan motivasi bagi bangsa untuk maju melangkah ke depan dengan belajar dari hal-hal yang baik dan positif masa lalu.
Indonesia sendiri mempunyai banyak tokoh yang merupakan inspirator seperti halnya Diponegoro atau Raden Saleh yang merupakan ‘’pemberontak’’ terhadap berbagai bentuk penindasan dan penjajahan. Di sisi lain capres dan tokoh nasional Dr Rizal Ramli mewarisi karakter itu, sebagai penerobos atau pendobrak yang hingga kini konsisten menolak neoliberalisme yang merupakan pintu masuk bagi neo-kolonialisme dan neo-imperialisme.
Brand lain dari capres Dr Rizal Ramli adalah pemberani, pembela rakyat, dan menjaga secara disiplin integritas dirinya dari berbagai bentuk kebatilan dan kesewenang-wenangan. Rakyat Indonesia dan partai politik seperti Gerindra tentu membutuhkan sosok calon presiden yang demikian.
[***]Penulis adalah wartawan senior