Pada 2013, Presiden Republik Rakyat China (RRC), Presiden Xi Jinping mengajukan dua inisiatif terpisah, inisiatif Jalan Sutera Maritim (MSR) dan rencana Jalur Sabuk Ekonomi Jalan Sutra (SREB), keduanya merupakan komponen integral dari mega proyek Cina yang dikenal sebagai One Belt, One Road (OBOR). Saya jauh dari kesimpulan sebelumnya bahwa dua rencana ambisius China akan bisa dilaksanakan tanpa harus intervensi pemilu diberbagai negara tujuannya, seperti Indonesia. Ternyata, China persiapkan metodologi proxy war untuk kontrol transisi kekuasaan disuatu negara tujuan.
Kita melihat, arah Indonesia terancam trouble apabila diteruskan bekerjasama dalam kebijakan baru Silk Road Cina yang juga disebut One Belt One Road (OBOR) itu. Pada akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo harus bisa memberikan laporan evaluasi terhadap kerjasama dengan RRC karena sangat khawatir apabila Indonesia terjadi seperti negara-negara Unisoviet berubah jadi Rusia dan Asia Tengah sebelumnya yang terbelah menjadi negara-negara kecil, seperti Turkistan yang hilang dari muka bumi.
Menurut Johnson (2016) katakan kebijakan OBOR terdiri dari dua komponen yaitu "Silk Road Economic Belt" dan "Maritime Silk Road". Proyek ini miliki komponen utama dari reformasi ekonomi China sebagai warisan besar dunia masa mendatang.
Untuk memvalidasi itu, saya mengikuti Forum Young Leaders Asean Free di Guangzou pada 2016 lalu, saya mendengar langsung seorang pejabat China ketika presentasikan sebuah rencana kerja gagasan baru Presiden Xi Jinping yang bertajuk The New Silk Road di maksudkan untuk memperkuat hubungan perdagangan antara Eropa, Asia Tenggara dan Cina yang telah tumbuh 168 persen selama lima belas tahun terakhir.
OBOR merupakan kelanjutan dari Teori Deng Xiaoping, serangkaian reformasi ekonomi yang dimulai pada akhir 1970-an, yang akhirnya berkembang menjadi daerah ekonomi khusus Shenzhen. Karya reformasi ini dilanjutkan melalui gagasan Zhang Jemin dengan "going out strategy" miliknya pada tahun 2002. OBOR dapat dilihat sebagai puncak dari ide "going out" tersebut mengingat bahwa Cina sedang berusaha untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Menurut Seczudlik Tatar (2013), tujuan lain, termasuk perkuat komunikasi kebijakan, tingkatkan kerjasama ekonomi dan transfer dana, menghilangkan hambatan perdagangan, dan meningkatkan transportasi dari Pasifik ke Laut Baltik, dari Asia Tengah ke Samudera Hindia, Dari Turki ke Moskow, dari Rotterdam ke Italia, dari India ke Indonesia dan akhirnya kembali ke Fozou, sala satu bagian dari Provinsi RRC. Saya pernah singgah selama dua minggu di daerah ini. Fozou dikembangkan oleh China sebagai pusat perkembangan Teknologi ekonomi maritimnya.
Cina prediksi bahwa masa mendatang, akan melibatkan dua pertiga dari populasi dunia dan berperan dalam sepertiga dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global. Apalagi, Presiden Xi Jinping mengumumkan proposal tentang lima fondasi utama untuk sabuk ekonomi New Silk Road dalam pidatonya di Astana, Kazakhstan dan disampaikan kembali selama pertemuan Shanghai Cooperation Organization (SCO) berlangsung. Selama dua dekade terakhir, Cina telah semakin perluas pengaruhnya di bidang perdagangan luar negeri, partisipasi ekonomi dan politik regional.
Lanjut, Johnson, (2016) dan SCMP, (2015), katakan Asia Tenggara, misalnya, Cina sudah menjadi anggota ASEAN Plus Three, yaitu kerjasama antara ASEAN dengan Cina, Jepang dan Korea. Di Eropa, Cina pemegang saham Bank Pembangunan Eropa untuk membantu proyek-proyek di Asia Tengah, khususnya Kazakhstan. Cina juga, anggota dari The New Development Bank (BRICS), yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan.
Menurut Brugier, C. t.t. dan Rolland (2015), bahwa gagasan The New Silk Road akan mulai di provinsi Xinjiang yang terletak di sisi Barat Laut Cina, juga disebut Daerah Otonomi Uyghur. Xinjiang berbatasan dengan negara-negara Asia Tengah yaitu Kazakhstan, Kirgizstan, dan Tajikistan. Cina berharap untuk mendapatkan keuntungan dari kesamaan budaya antara penduduk Uyghur Cina dan Asia Tengah yang mana mayoritas masyarakat Uyghur beragama Islam dan berbahasa Turki. Diharapkan, kegiatan ekonomi akan membantu mencegah radikalisasi "teroris" minoritas Islam dan menghilangkan mayoritas-mayoritas agama-agama agar sesuai dengan tujuan "Komunisme dan Sosialisme."
Lanjut, Brugier, C. t.t. (2015), bahwa rute darat melalui kerjasama dengan negara Asia Tengah berpeluang bagi Cina untuk melampaui Rusia, karena hubungan Cina-Rusia telah memburuk. Setelah Asia Tengah nanti, rute ke arah barat telah digagas oleh Cina membentang jalur kereta melalui Iran, Irak, Suriah, Turki, Bulgaria, Rumania, Republik Ceko, Jerman, Belanda, dan Italia.
Menurut Rolland, (2015) dalam bukunya rute darat adalah salah satu cara mengurangi kontrol perdagangan AS dan melewati US Navy yang mengontrol lautan maritim dunia. Rute darat akan fokus pada bantuan pembangunan jalur kereta api.
Di Indonesia, metode pembangunan ini sedang lakukan oleh Presiden Joko Widodo. Saat ini hanya ada tiga sambungan rel antara Cina dan Eropa; salah satunya rel kereta api yang berakhir di Jerman, tersambung ke Polandia dan berakhir nanti pada rute Madrid-Yiwu. Sedangkan Asia Tenggara dipusatkan dari Indonesia tersambung ke Fozou melalui Laut China Selatan.
Begitu kata, Estaban dan Otero-Iglesias (2015), gagasan rute lain, yaitu proyek rel kereta api cepat yang menghubungkan Beijing dan Moskow, dari Malaysia ke Batam, dari Indonesia ke India, Tidak terbatas pada daratan.
Jalur Sutra Maritim: Indonesia TerancamJalan Sutra Maritim akan memberikan akses angkatan laut Cina melalui jejaring maritim laut, seperti Laut China Selatan yang berbatasan langsung Indonesia hingga tersambung Laut Hitam dan Mediterania, yang merupakan titik perbatasan yang sangat signifikan untuk transportasi energi.
Investasi infrastruktur di Indonesia juga telah dimulai dengan pembangunan pelabuhan (Tol Laut) dan titik temu laut yang akan dikombinasikan dengan jaringan rel kereta api ke berbagai daerah yang daratannya luas. Kebijakan Cina memiliki dampak besar bagi Indonesia, bisa positif dan juga negatif, baik di level regional maupun global.
Menurut McKinsey Global Institute, (2012), bahwa Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, turut mendapatkan pengaruh besar atas kebijakan program OBOR ini. Indonesia secara alami menghubungkan navigasi maritim antara dua benua dan pasar utama ekonomi Asia Tenggara. Dengan populasi sekitar 250 juta orang, pendapatan meningkat, dan pertumbuhan PDB tahunan stabil di angka sekitar 6 persen dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia diperkirakan akan menambah 90 juta penduduk di tahun 2030.
Menurut PWC Economics, (2015) bahwa pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan menjadi perekonomian terbesar ketujuh di dunia, dan pada tahun 2050 diproyeksikan untuk menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia karena daya beli pasar yang besar. Namun, disayangkan apabila, Indonesia terjerembab pada ekonomi komunisme liberal melalui program OBOR yang menjalankan kontrol pada sistem ekonomi Pancasila yang selama ini orisinalitas bangsa Indonesia.
Indonesia adalah ekonomi terbesar di ASEAN saat ini, dan sudah mengambil tempat duduk di G-20. Indonesia kini memiliki semua prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi sebagai pemain utama internasional utama. Meskipun memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, Indonesia tidak memiliki infrastruktur maritim yang cocok sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Sehingga mau tak mau, program OBOR diambil dan sekarang terjebak pada kontrol sistem ekonomi komunis liberal.
Laporan KPMG Report (2013), pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya terkonsentrasi di pulau-pulau utama negara, Stagnan sepanjang masa. Tetapi inter konektivitas antar pulau masih kurang, dan perusahaan yang pernah menghabiskan biaya transportasi yang tinggi karena kurangnya jumlah pelabuhan perairan laut di Indonesia, memindahkan produksi mereka ke negara tetangga.
Menurut Quartz Staff (2015), katakan Indonesia memiliki anggapan penting untuk memiliki kedaulatan maritim yang kuat, dan terlepas dari fakta akan ada peningkatan anggaran. Perlu juga diketahui, kedaulatan maritim yang kuat mungkin akan menunjukkan keterlibatan yang lebih aktif dalam sengketa regional.
Hal ini tercermin dari kebijakan penenggelaman kapal penangkap ikan ilegal dan pelarangan alat tangkap nelayan, yang baru dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Jokowi. Keputusan-keputusan pengadilan Indonesia yang secara dramatis menyita kapal dan menenggelamkan penangkap ikan ilegal yang beroperasi di perairan telah dipertanyakan oleh pengamat internasional.
Lebih lanjut, Laporan Antara News, (2014), meskipun secara resmi bersikap netral, Indonesia juga baru-baru ini menjadi lebih terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan setelah Cina mengklaim perairan Natuna Pulau Indonesia sebagai wilayah perairan China.
Strategi maritim Indonesia dan Cina sangat berhubungan erat. Presiden Xi Jinping pertama kali perkenalkan gagasan Cina Maritime Silk Road di depan Parlemen Indonesia di Jakarta, dan Cina menunjukkan dukungan untuk strategi maritim Indonesia di mana Indonesia juga turut mendukung strategi maritim milik Cina.
Dana milik Cina yang dikhususkan untuk mengembangkan Maritime Silk Road dapat menjadi sumber pembiayaan yang penting untuk proyek-proyek di Indonesia. Setelah terjadi pembekuan hubungan diplomatik selama sebagian besar dari era Soeharto -di mana Indonesia secara terbuka bertindak sebagai negara anti-komunis, Cina dan Indonesia akhirnya menjalin hubungan diplomatik pada awal 1990-1997 dan berlanjut pada tahun 2014-2018 ini.
Seorang Editor Jean-Marc F. Blanchard, dalam bukunya berjudul "China’s Maritime Silk Road Initiative and South Asia: A Political Economic Analysis of its Purposes, Perils, and Promise, terbit tahun 2018, Palgrave Studies in Asia-Pacific Political Economy, dengan menulis disebuah surat kabar yang menganalisis masa depan kerjasama China-Indonesia dan Asia Tenggara, dalam tulisan berjudul China’s Twenty-First Century Maritime Silk Road Initiative and South Asia: Political and Economic Contours, Challenges, and Conundrums, bahwa apapun itu, sulit untuk Indonesia, bisa menjadi kuat apabila berada dibawah bayang-bayang kontrol China yang bersistem komunis liberal yang memiliki skema yang berskala besar dan berpotensi trans efek formatif pada hierarki kekuasaan pemerintah Indonesia. Apalagi pada pemilu 2019 mendatang yang diprediksi menganggu hubungan dengan negara lain secara global, regional, dan sub regional lembaga antar negara.
Menurut John F. Copper dalam bukunya berjudul "China’s Foreign Aid and Investment Diplomacy, Volume I, Nature, Scope, and Origins," New York City: Palgrave Macmillan, (2015), bahwa para analis internasional dan pengamat intelijent telah membuat prediksi masa depan Asia Tenggara, khususnya Indonesia atas keputusannya menerima program OBOR yang telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah Cina untuk Indonesia dan bersedia dibawah kontrol. Maka, Indonesia diprediksi terancam bubar sebagai negara berdaulat.
Mengapa harus Indonesia? Sampai saat ini, para ahli telah memberikan pendapat tentang Indonesia, dan menyelidiki hubungan distribusi energi Sumber Daya Alam melalui China dengan instrumen investasi dan Tenaga Kerja Asing. Sumber Daya Alam Indonesia yang menjadi bagian dari persaingan untuk merebut Indonesia. Sehingga, wajar prediksi Indonesia bubar, akan benar-benar terjadi. Bahkan, apa yang disampaikan Jenderal Prabowo Subianto tentang Indonesia bubar pada tahun 2030 kemungkinan akan terjadi, mengingat dominasi China sangat luar biasa untuk Indonesia.
Di luar negeri saat ini, terbuka pendapat tentang atraksi, tantangan, dan signifikansi tekanan program OBOR dalam proses pemilu Indonesia tahun 2019 mendatang. Ada banyak analisis untuk gambarkan hal ini. Bahwa China sedang bekerja lakukan intervensi ekonomi politik dan keamanan nasional Indonesia untuk memperkuat kembali Presiden Joko Widodo agar terpilih pada periode kedua sehingga kedepan program OBOR berjalan lancar.
Padahal ancaman terbesar yang perlu diketahui oleh pemerintah Indonesia, yakni ledakan utang Cina yang mengalami overdosis dan krisis kredit pada satu dekade. Diprediksi krisis keuangan global, ambruknya ekonomi manufaktur dan ekspor China akan runtuh. Tentu Partai Komunis China yang berkuasa pasti panik saat ini serta menyusun strategi untuk mengatasinya.
Indonesia sekarang, bisa diprediksi, apabila rupiah terus melemah. Lebih fatal lagi, apabila pemimpin partai politik Indonesia yang kendalikan sistem politik negara tidak segera memikirkan tingkat pertumbuhan dollar dan intervensi investasi. Maka, situasi ini diprediksi ada kerusuhan politik pada pemilu 2019 mendatang. Apalagi, pemerintahan Jokowi dikenal banyak ancaman terhadap keberlangsungan demokrasi dan terkesan otoriter.
Pemimpin partai politik dan oara oposisi Indonesia harus segera menentukan sikap, karena sekarang sudah dalam kategori terancam akan berhentinya seluruh mekanisme investasi dan pembangunan infrastruktur. Lihat saja, gelombang besar pinjaman China menunjukkan grafiknya secara absolut, total utang China telah menggelembung dari sekitar $ 6 triliun pada saat krisis keuangan menjadi hampir $ 28 triliun pada akhir tahun lalu. Tentu akan runtuh dan Indonesia perlu diselamatkan.
Sementara, persentase dari PDB, total utang telah meningkat dari 140 persen menjadi hampir 260 persen selama periode yang sama. Ekonomi Cina tidak akan bisa diselamatkan dalam jangka pendek oleh keputusan pemerintah untuk membuka pintu-pintu kredit melalui perbankan, tetapi China berencana mengalihkan pembayaran hutangnya kepada negara-negara tujuan Silk Belt And Road Initiative (OBOR), termasuk Indonesia, melalui kewajiban pembayaran investasi.
Sekarang Presiden Joko Widodo panik sekali. Selain rupiah melemah, dollar terus menekan dan situasi politik kian tidak menentukan sehingga makin gaduh. Padahal penting untuk antisipasi volume investasi China saat ini, bukan lagi menambahkan jumlahnya. Karena rupiah sedang ambruk.
Lagi pula, Presiden Joko Widodo lebih baik ikut aktif mengajak rakyat membicarakan pola mengatasi kesenjangan ekonomi dan rupiah ambruk, karena Indonesia posisinya dalam keadaan terancam. Yang terpenting, Presiden Joko Widodo tanpa pertahankan kekuasaan politik pada pemilu 2019 nanti. Karena China telah menyadari bahwa ambivalensi pemilu 2019 akan merugikannya apabila oposisi berhasil mengambil peran kepemimpinan pada pemilu 2019 mendatang.
Kalau saja pemilu 2019 berhasil direbut oleh oposisi, maka sebaiknya ada tawaran program, ganti sistem politik, perbaikan regulasi, menata kebijakan global dan regional serta evaluasi investasi China terhadap Indonesia. Maka untuk selamatkan Indonesia, mari #2019GantiPresiden secara damai dan beradab.
[***]Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR).