Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sugiat Santoso Memprovokasi, Ini Logika Rizal Ramli

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Minggu, 01 April 2018, 16:45 WIB
Sugiat Santoso Memprovokasi, Ini Logika Rizal Ramli
Rizal Ramli dan Faisal Mahrawa/RMOL
rmol news logo Perhelatan Nongkrong Politik di Kafe Jumpa Kawan, Jalan Wahid Hasyim, Medan, Sabtu malam (31/3) menjadi ajang pertarungan gagasan yang menarik. Tema "Menuju Indonesia Emas" dikuliti dari berbagai perspektif.

Empat pembicara yang tampil adalah tokoh nasional DR. Rizal Ramli, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumatera Utara Sugiat Santoso, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara Hermansjah, dan dosen ilmu politik Universitas Sumatera Utara (USU) Faisal Mahrawa.

Peserta membludak. Hujan deras yang turun mengguyur kota Medan tak menyurutkan animo peserta menyimak orasi para pembicara. Acara dimulai pukul 19.30 WIB dan berakhir menjelang tengah malam.

Sugiat Santoso yang menjadi pembicara pertama menyentak ruang diskusi dengan satu proposisi yang provokatif dan kontroversial.

"Saya menggugat keindonesiaan kita. Indonesia sudah gagal. Hanya menguntungkan elit di Pulau Jawa. Untuk apa berindonesia. Mungkin lebih baik kita bermalaysia, atau bersingapura. Atau kita dukung kemerdekaan Sumatera tanpa Indonesia," katanya.

Gampang-gampang susah merespon gugatan Sugiat. Hampir semua peserta percaya Sugiat hanya memprovokasi dengan tujuan sebaliknya, memperkuat rasa keindonesiaan.

Katanya lagi, semua hal diputuskan Jakarta. Pembagian hasil alam diputuskan Jakarta, sampai penentuan siapa calon pemimpin daerah pun diputuskan Jakarta.

"Kami ke Jakarta, berkemah menunggu tanda tangan mereka. Kalau mereka tidak tanda tangan, tokoh daerah tidak bisa menjadi calon pemimpin daerah. Jadi untuk apa ada Indonesia?" katanya lagi kali ini disambut tepuk tangan lebih meriah dari peserta.

Proposisi yang disampaikan Sugiat mampu mewarnai jalannya diskusi.

Hermansjah dan Faisal Mahrawa yang menjadi pembicara kedua dan ketiga berusaha sebisa mungkin memberikan respon terbaik mereka.

Hermansjah mengatakan, situasi memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Seakan tenang di permukaan, tetapi ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kalau tidak segera dibereskan, mungkin sekali jadi persoalan yang serius dan sulit dipecahkan.

Dia menekankan pentingnya media melaporkan setiap perkembangan dengan penuh tanggung jawab. Tidak boleh sembarangan, tidak boleh mengabaikan fakta dan etika. Di sisi lain, Hermansjah membenarkan, ada kalanya media terjebak dalam dilema, antara kepentingan publik dan kepentingan pemilik.

Faisal juga membenarkan bahwa keputusasaan bisa menjadi pilihan manakala tidak terlihat ada jalan keluar di depan mata.

Namun Faisal meminta agar tidak buru-buru menyimpulkan persoalan yang dihadapi Indonesia hari ini sebagai sebuah kegagalan yang tidak termaafkan.

"Jalan keluar yang elegan pasti ada," katanya sambil mengajak agar kelompok pemuda, mahasiswa dan aktivis, tetap menjaga optimisme sambil di saat bersamaan menjaga kritisisme.

Rizal Ramli yang menjadi pembicara kunci mengakui, mendengarkan proposisi Sugiat membuatnya menyadari bahwa situasi semakin tidak menguntungkan dan semakin membahayakan.

Kekecewaan Sugiat, menurut hemat mantan anggota panel penasehat PBB itu, adalah warning yang sama sekali tidak bisa diabaikan.

"Tetapi saya yakin, ini bukan soal pondasi negara. Ini tentang penyelenggaraan kehidupan bernegara yang dikendalikan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab, yang menciptakan sistem demokrasi kriminal," ujarnya.

Demokrasi kriminal, masih kata Rizal Ramli, terkait dengan sistem politik yang memperbolehkan jabatan publik menjadi komoditas yang diperdagangkan.

"Ini bukan soal Bung Sugiat berkemah di Jakarta untuk mendapatkan tanda tangan pimpinan di Jakarta. Ini soal Bung Sugiat punya uang berapa. Kalau tidak ada uang, kata mereka: siapa elu. Kalau ada uang, baru ditandatangani," sambungnya sambil menambahkan dalam sistem demokrasi kriminal setiap jabatan publik seakan punya harga yang tidak bisa ditawar.

Akibatnya, pejabat publik yang dihasilkan dari demokrasi kriminal ini adalah pejabat publik yang juga kriminal atau setidaknya gampang terjerumus menjadi kriminal. Mereka pada akhirnya, terpaksa atau tidak, menggunakan jabatan untuk menumpuk kekayaan demi diri sendiri, partai dan/atau korporasi yang selama ini memberikan proteksi.

"Hari ini ada 350 bupati masuk penjara, setengah dari gubernur yang ada di Indonesia masuk penjara, ratusan anggota DPR, DPRD masuk juga. Itu artinya bukan lagi kasus orang per orang tetapi sudah sistemnya. Sistemnya harus dibenerin," tambah Rizal Ramli.

Rizal Ramli lantas menggugah peserta, yang disebutnya sebagai anak-anak muda Medan yang berani.

"Saya teringat lagu New York yang dinyanyikan Frank Sinatra. Ada liriknya yang berkata: If I can make it there, I'll make it anywhere. Saya ingin mengubahnya: Kalau saya bisa lakukan di Medan, saya bisa lakukannya di mana saja di Indonesia," ujarnya sambil merangkul sang moderator diskusi, Fajar Sidik.

"Saya panggil pemuda pemudi Medan, saya panggil rakyat Sumatera Utara. Mari kita memulai perubahan dari Medan," katanya lagi.

Seruan Rizal Ramli disambut ramai tepuk tangan dan suitan dari peserta.

Di tempat duduknya, Sugiat Santoso yang dengan caranya berhasil menggugah peserta terlihat mengangguk-angguk sambil tersenyum. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA