Permainan Emosi Massa Anies Vs Jokowi

Rabu, 21 Februari 2018, 16:14 WIB
Permainan Emosi Massa Anies Vs Jokowi
PERMAINAN opini di media mainstream dan media sosial mengenai peristiwa "Anies dihadang Paspampres" saat penyerahan Piala Presiden 2018 membeletot mata publik betapa Anies Baswedan telah menjelma menjadi ikon baru perjuangan politik penentang Presiden Jokowi menuju Pilpres 2019.

Secara fakta, hubungan antara Jokowi dan Anies pada saat berlangsungnya final Piala Presiden tersebut biasa saja bahkan cenderung harmonis. Mereka menonton di balkon yang sama, dengan kursi duduk yang sejajar. Sebelum dan selama pertandingan berlangsung, Jokowi dan Anies saling sapa, saling salam, saling ngobrol. Bahkan Jokowi memberikan selamat kepada Anies ketika Persija mencetak gol.

Tapi tafsir terhadap penghadangan Anies mengubah peristiwa tersebut menjadi bernuansa politis. Gurih digoreng menyedot perhatian publik. Hubungan harmonis dinafikan. Mayoritas netizen menafsirkan bahwa kejadian tersebut sarat sentimen dan persaingan politik antara Jokowi versus Anies. Fadli Zon, Wakil Ketua DPR yang terkenal sebagai penentang Jokowi, memanas-manasi kompor-sosial-politik dengan menyebut peristiwa tersebut bermuatan politis.

Peristiwa penghadangan tak akan membakar emosi netizen sekiranya Anies tidak dipersepsi pendukungnya sebagai pesaing Jokowi. Peristiwa tersebut menjadi pembenar bagi anggapan dan harapan mereka bahwa Anies adalah penentang potensial Presiden di Pilpres 2019. Dan, kasus penghadangan menjadi amunisi sempurna dalam membangun opini bahwa Anies Baswedan telah menjadi momok bagi Jokowi dan pendukungnya.

Kemunculan Anies sebagai ikon perjuangan tak bisa dilepaskan dari keberhasilannya memenangkan pertarungan spektakuler  melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Kebetulan, penentang Ahok beririsan utuh dengan penentang Jokowi. Mayoritas pendukung Anies adalah anti-Jokowi juga. Konsistensi Anies setelah disahkan menjadi Gubernur DKI Jakarta mencitrakan diri sebagai antitesis Jokowi semakin meningkatkan asa para pendukungnya menjelang perhelatan politik Pilpres 2019.

Di sisi lain, harapan terhadap Anies semakin membesar seiring meredupnya sinar kharisma Prabowo Subianto. Elektabilitas Prabowo terindikasi stagnan, bahkan cenderung turun berdasarkan hasil jajak pendapat yang dipaparkan ke publik oleh beberapa lembaga survei.

Eskalasi permainan opini yang mempertentangkan Anies dengan Jokowi bisa dipastikan akan semakin meningkat seiring tensi politik yang menaik menyongsong perhelatan Pilpres 2019. Berdasarkan agenda politik yang ditetapkan KPU, pendaftaran calon Presiden-Wakil Presiden adalah pada bulan Agustus 2018 mendatang. Berarti tinggal enam bulan lagi, waktu yang sangat singkat dalam hitungan kalender politik.

Karena itu, apapun yang berkenaan dengan diri Anies dan Jokowi akan menjadi topik bahasan dan tafsir para pendukung dan penentang baik di media mainstream apatah lagi media sosial yang begitu bebas dalam rangka memompa elektabilitas jagoannya.

Rasionalitas Terpinggirkan

Pendukung dan penentang Jokowi-Anies sudah berada pada titik keyakinan yang tak tergoyahkan. Pendukung Anies memandang Jokowi sebagai pesaing yang harus didown-grade citra dan elektabilitasnya. Sebaliknya pendukung Jokowi juga melihat bahwa Anies adalah pesaing potensial yang bisa menandingi elektabilitas Jokowi sehingga harus dihadang.

Pendukung Jokowi-Anies tidak lagi menafsir fakta secara rasional-logis tapi sudah masuk pada wilayah emosi. Rasional-logis, bahwa fakta dianalisis dan diverifikasi terlebih dahulu sebelum sampai pada kesimpulan atau penilaian benar atau keliru. Sebaliknya, penilaian emosi mengabaikan verifikasi, tabayyun, ataupun penalaran objektif. Semua dinilai berdasarkan kesukaan dan ketidaksukaan. Peristiwa ditafsir berdasarkan keyakinan atau keberpihakan emosional.

Fenomena di mana penilaian rasional kalah oleh keberpihakan emosi, tidak hanya monopoli Indonesia, tapi sudah menjadi fenomena global. Inilah salah satu karakter politik di era post-truth. Menurut J.A. Llorente (2017), era Post-Trust merupakan "iklim sosial-politik di mana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda".

Menurut Haryatmoko (2018), ada tiga situasi yang menyebabkan era Post-Truth disambut hangat oleh masyarakat: Pertama, suatu bentuk devaluasi kebenaran berlangsung sebagai dampak dari narasi politisi penebar demagogi; Kedua, banyak orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang telah dipilih; dan, Ketiga, media lebih menekankan sensasi sehingga hanya berita baru, spektakuler dan sensasional layak disebut worth news.

Karakter massa politik post-truth ini dimanfaatkan oleh politisi atau siapapun yang punya kepentingan politik untuk mempermainkan emosi publik untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Semua hal dilakukan mengikuti logika, keyakinan dan kesenangan publik, bukan untuk kepentingan dan kebaikan bangsa dan negara secara umum. Hoax dicipta, berita disetting, kondisi diciptakan, opini dimainkan. Pada akhirnya masyarakat tanpa sadar terperangkap pada permainan politik tipu daya. Mereka tak bisa lagi membedakan antara fakta, berita, opini, settingan, dan analisis. Juga tak mampu membedakan tujuan baik atau buruk. Campur baur.

Permainan politik mengikuti emosi massa ini menyebabkan terjadinya polarisasi yang tajam di tengah masyarakat. Karena, perbedaan keyakinan di dalam masyarakat bukannya didamaikan dan diharmoniskan tetapi dieksplorasi untuk kepentingan politik. Hal-hal yang bersifat sentimental dan emosional diintrodusir untuk menaikkan popularitas dan keterpilihan. Masyarakat dibelah secara sistematis berdasarkan keyakinan, ideologi, dan pemihakan.

Strategi politik dengan cara membelah masyarakat ini sudah muncul pada saat Pilpres 2014 lalu. Berdasarkan disertasi Doktor Dina Septiani S. Basuki (2017) di The Graduate School of Clemson University, Amerika Serikat, ditemukan fakta bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla memakai strategi politik memainkan keyakinan massa dalam upaya merebut kursi Presiden-Wakil Presiden. Kedua pasangan mengidentifikasi secara apik siapa pendukung utama mereka untuk kemudian memainkan isu-isu yang berdasarkan pada keyakinan dan ideologi pendukung untuk memperbesar, memperluas dan memantapkan dukungan politik. Isu agama, ras, ideologi (seperti isu PKI) tak terelekkan menyeruak dan dihembuskan ke publik dalam upaya memperoleh dukungan pemilih. Moral politik sirna oleh kepentingan politik.

Eksplorasi keyakinan dan emosi pemilih semakin meluas ketika Pilkada DKI Jakarta. Sangat eksesif. Masyarakat yang sudah mulai terbelah pada saat Pilpres 2014, semakin diperlebar keterbelahannya oleh kandidat dengan permainan isu ideologi, agama dan SARA. Kebetulan ada kesamaan polarisasi masyarakat pada saat Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Pendukung Jokowi-JK mayoritas menjadi pendukung Ahok-Djarot, dan pendukung Prabowo-Hatta mayoritas menjadi pendukung Anies-Sandi.

Sampai sekarang, elit-elit politik memanfaatkan dan mengeksplorasi masyarakat yang sudah terbelah ini demi kepentingan politiknya. Ini bagaikan ceruk pasar potensial yang harus dikapitalisasi sebesar-besarnya untuk meraih keuntungan. Karena memang dalam kondisi masyarakat yang sudah terbelah, yang sudah jelas pemihakannya, memudahkan pemain politik dalam mengidentifikasi, memelihara dan memperluas massa pendukung.

Secara simplistis, masyaraat Indonesia sekarang terbelah kepada dua kelompok besar: nasionalis dan islamis.  Kelompok nasionalis mengintrodusir isu-isu pluralism, nasionalisme, egalitarianisme dan ideologi pancasila. Kelompok Islamis menggaungkan isu-isu anti-PKI, pribumisasi, simbol-simbol agama, piagam Jakarta, dan islamisasi.

Kelompok nasionalis sudah menemukan figur yang pas di hati dalam menghadapi perhelatan pilpres 2019, yaitu Jokowi. Tak ada keraguan lagi dalam kelompok ini mengenai tokoh utamanya. Elektabilitas dan tingkat kesukaan kepada Jokowi masih tinggi. Putra Solo ini masih mempunyai kemungkinan menang pada Pilpres 2019 mendatang. Begitu hasil polling lembaga survei kredibel.

Hal berbeda terjadi di kelompok islamis. Masih terjadi kegamangan. Prabowo yang sebelumnya menjadi pesaing utama Jokowi, terindikasi stagnan. Sulit dipompa. Sehingga membuat kelompok Islamis galau. Galau, karena hasrat untuk menumbangkan Jokowi begitu tinggi. Dikala galau, muncullah sosok Anies. Pucuk dicinta ulam tiba. Gubernur DKI Jakarta hasil Pilkada 2017  ini dirasa mampu meraih kursi Presiden di Pilpres 2019 mengalahkan Gubernur DKI Jakarta hasil Pilkada 2012 yang telah lebih dulu menjadi Presiden.

Memelihara Harapan

Quota kekuasaan itu tidak banyak. Seperti Presiden, quotanya hanya satu dalam periode lima tahun. Sementara yang menginginkannya sangat banyak. Maka tak heran elit-elit politik yang berburu quota terbatas itu memainkan segala daya dan upaya, segenap kemampuan jaringan, dana, keahlian, strategi, retorika, juga tipu daya. Benefit yang akan mereka raih jauh lebih besar dari ongkos yang dikeluarkan sekiranya kekuasaan itu berhasil digenggam.

Perkembangan terkini kita menyaksikan keterbelahan masyarakat yang semakin menganga. Polarisasi mengental dan mengkristal. Kecurigaan sosial antarkelompok sudah sangat tinggi. Ini kondisi psikologis-sosial kemasyarakatan yang berbahaya, ibarat bara api dalam sekam, setiap saat bisa meledak memicu terbakarnya rumah ibu pertiwi.

Bagian dari budaya politik adalah komitmen sosial untuk berhati-hati saat mengelola perbedaan. Harapan akan lahirnya niat baik dari elit-elit politik untuk mengelola perbedaan di dalam masyarakat secara bijak selalu tak boleh pupus meski nada-nada pesimistis sering terdengar.

Media massa (cetak, elektronik, online), kelas menengah, aktivis sosial, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga-lembaga riset diharapkan selalu memainkan perannya  mengingatkan elit-elit politik mengedepankan etika dan budaya politik. Sembari terus memberikan pendidikan politik dan pencerahan akal budi kepada masyarakat luas agar lebih mengedepankan rasionalitas daripada emosionalitas dalam politik. Sehingga perbedaan dalam masyarakat mewujud menjadi rahmat, bukan laknat, meski pada saat kompetisi politik terpanas sekalipun. Wallahu alam bis-shawab.[***]

Afriadi Rosdi
Mahasiswa PascaSarjana Komunikasi Politik STIKOM InterStudi, Jakarta. Pemerhati Politik dari RM Politika.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA