Penghargaan Asing Tidak Sama Dengan Kondisi Dalam Negeri

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Senin, 12 Februari 2018, 14:49 WIB
rmol news logo Penobatan Sri Mulyani Indrawati menjadi menteri terbaik di dunia menuai gonjang ganjing di dalam negeri. Sri Mulyani dianggap mengikuti arah kebijakan makro super konservatif yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan dan daya beli masyarakat turun.

Di media sosial dan grup-grup whatsapp, sindiran terhadap penghargaan itu juga marak beredar. Sebuah poster atau meme yang membeberkan data ekonomi di dalam negeri bersama foto Sri Mulyani memegang piagam penghargaan adalah salah satunya.

"Maaf!! Penghargaan asing terbaik di dunia, tapi faktanya berbeda dengan kondisi di dalam negeri," demikian tulisan di bagian atas meme itu.

Disertakan juga data Badan Pusat Statistik yang menyebut tingkat kemiskinan pada 2012 adalah 11,96 persen atau 29,25 juta orang. Namun, penurunannya di tahun 2017 sangat kecil yaitu menjadi 10,64 persen atau 27,77 juta orang

Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development  (INFID) pada 2017 menggambarkan ketimpangan sosial di Indonesia, bahwa empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin

Selain itu, pada Agustus 2017, data BPS melaporkan jumlah pengangguran masih tinggi yakni 7,04 juta orang.

Juga disertakan kutipan isi berita dari media online soal Bank Indonesia melaporkan utang luar negeri Indonesia pada akhir November 2017 tercatat sebesar 347,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.636,455 triliun dengan kurs Rp 13.350 per dolar AS.

Di bagian bawah poster tersebut tertera kutipan pesan dari Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno. "Jika engkau mencari pemimpin carilah yang dibenci, ditakuti atau dicaci maki asing karena itu yang benar. Pemimpin tersebut akan membelamu di atas kepentingan asing itu dan janganlah kamu memilih pemimpin yang dipui-dipuji asing karena ia akan memperdayaimu".

Tak lama setelah berita penghargaan terhadap Sri Mulyani itu disebar tim Kementerian Keuangan, peneliti dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra, menyatakan "prestasi" paling menonjol dari mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu adalah penerapan kebijakan makro super konservatif yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan dan daya beli masyarakat turun. Selain itu, menerbitkan surat utang dengan bunga (yield) 1-3 persen, yang berakibat kerugian negara puluhan triliun.

"Kebijakan makro yang juga sebabkan pertumbuhan ekonomi dan ekspor Indonesia tertinggal dari negara tetangga di Asia," sindirnya.

Gede mengaku lebih heran mengapa menteri-menteri dari negara-negara yang hebat, antara lain China dengan GDP terbesar nomor dua di dunia, Singapura dengan GDP per kapita tertinggi di Asia, dan Vietnam yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di ASEAN, tidak dapat menerima penghargaan seperti yang diterima Sri Mulyani. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA