Menurut Tjahjo kedua nama tersebut dari institusi Polri sendiri dengan acuan tidak melanggar dasar hukum Polri. Setelah itu, rencananya barulah kedua nama tersebut diberikan ke Presiden untuk mendapat persetujuan.
Namun demikian, Tjahjo tidak menyangka bahwa ujung dari rencananya menuai polemik. Ia bersedia menerima sanksi dari Presiden Joko Widodo.
"Keputusan terakhir di istana. Saya hanya mengajukan, mencermati dinamika perkembangan yang ada. Aturan UU yang saya yakini. Kalau dianggap gaduh, menimbulkan hal yang pro-kontra, saya hargai semua pendapat. Kalau bikin gaduh, saya siap terima teguran Bapak Presiden," ujarnya seusai jadi narasumber dalam Baintelkam Polri di Hotel Gradhika, Jakarta Selatan, Senin (29/1).
Lebih lanjut, Tjahjo mengaku telah menyerahkan rencananya kepada Menkopolhukam Wiranto untuk meminta rekomendasi dari presiden. Soal diterima atau tidak presiden yang menentukan.
"Dari penerimaan nama itu saya nanti sampaikan ke presiden lewat Setneg. Nanti ada Keppres. Soal nanti disetujui apa enggak, ya terserah Mensesneg yang menyiapkan Keppresnya," kata Tjahjo.
Rencana penunjukan perwira polri sebagai PJ Gubernur Tjahjo berpegang pada UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi atau madya. Aturan berikutnya yang dirujuk Tjahjo adalah Permendagri nomor 1 tahun 2018 tentang Cuti Di luar Tanggungan Negara.
Sedangkan yang kontra menyebutkan, penunjukan dua jendral tersebut bertentangan dengan UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Isisnya, anggota TNI dan Polri aktif tidak boleh berpolitik dan menempati jabatan sipil.
[nes]