Karena itu, langkah PDI Perjuangan memecat Emil Dardak sudah sangat tepat.
"Bahkan kategorinya bisa disebut sebagai pengkhianat jika merujuk dari sejarah ketika Emil menjadi calon Bupati Trenggalek yang didukung penuh oleh PDIP hingga ia menjadi bupati," kata pendiri The Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, dalam keterangan tertulis (Sabtu, 25/11).
Bahkan, Emil Dardak juga pernah dinobatkan menjadi kader partai karena dianggap sebagai tokoh muda yang cerdas, visioner dan memiliki idealisme. Namun kini Emil memilih berseberangan dengan PDIP pada Pilgub Jatim 2018.
Ia menduga, sikap Emil yang mengambil posisi diametral berhadapan dengan PDIP bukan cuma bernuansa ambisi pribadi, tetapi skenario politik untuk memecah suara dan mengganggu PDIP secara psikologis.
Tetapi, menurut Karyono, PDIP tak pantas terlalu khawatir karena Emil bukan faktor signifikan dalam menentukan kemenangan di Jatim. Upaya memecah suara pemilih PDIP juga tidak akan maksimal.
"Sosok Emil bukan tokoh penting yang berpengaruh di internal PDIP karena ibarat hanya 'anak pungut' yang kini sedang dipungut lagi oleh pihak lain," ujar Karyono.
Jika dilihat dari aspek elektabilitas, PDIP harus bersyukur karena tingkat keterpilihan Saifullah Yusuf yang diusungnya pada Pilgub Jatim 2018 masih jauh di atas Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Emil Dardak.
"Jika dibandingkan, antara Azwar Anas dengan Emil Dardak yang posisinya sama-sama sebagai bupati, sosok Azwar Anas di Banyuwangi lebih berprestasi ketimbang Emil di Trenggalek," ujarnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: