Di atas 17 pulau buatan tersebut akan dibangun ratusan gedung-gedung pencakar langit untuk hunian, yang diperkirakan dapat menampung jutaan orang.
Gagasan untuk melakukan Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dimulai era Presiden Suharto. Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 52 Tahun 1995 Tertanggal 13 Juli 1995, Tentang Reklamasi Pantau Utara Jakarta.
Beberapa Pasal yang perlu diperhatikan dalam Keppres tersebut yakni,
Pasal 1 Ayat 1.
Reklamasi Pantai Utara Jakarta, selanjutnya disebut Reklamasi Pantura, adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan laut di bagian perairan laut Jakarta.
Pasal 2.
Untuk keperluan pengembangan Kawasan Pantura dengan Keputusan Presiden ini dilakukan Reklamasi Pantura.
Pasal 3 Ayat 1.
Reklamasi Pantura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus kearahy laut sampai garis yang menghubungkan titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter.
Pasal 4.
Wewenang dan tanggungjawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 5 ayat 1.
Dalam rangka mengendalikan Reklamasi Pantura, dibentuk sebuah Badan Pengendali dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:
a. Ketua/Penaggungjawab: GubernurKepala Deaerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. Wakil Ketua/Pelaksana Harian: Wakil Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
c. dst.
Pasal 6 Ayat 2.
Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengendali bertanggungjawab kepada Presiden.
Pasal 9 Ayat 1
Areal hasil Reklamasi Pantura diberikan status Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 11 Ayat 1.
Penyelenggaraan Reklamasi Pantura wajib memperhatikan kepentingan lingkungan, kepentingan pelabuhan, kepentingan kawasan pantai berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsi-fungsi lain yang ada di Kawasan Pantura.
Demikian cuplikan dari Keppres No. 52 Tahun 1995 mengenai Reklamasi Pantura. Tidak ada disebutkan mengenai membangun Pulau Buatan, melainkan penimbunan dan pengeringan pantai.
Sekarang ditambah satu mega proyek lagi, yaitu pembangunan Giant Sea Wall (GSW) atau Tanggul laut raksasa, yang akan dikerjasamakan dengan Belanda.
GSW ini juga direncanakan sebagai tempat hunian yang akan dapat menampung jutaan orang.
Pada 4 April 2016, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati menjelaskan dasar hukum yang ditetapkan dalam pelaksanaan Pantura Jakarta. Hal ini diungkapkannya sekaligus untuk menjelaskan informasi simpang siur tentang dasar hukum reklamasi yang selama ini dipermasalahkan oleh sejumlah pihak.
Kepada media yang mewawancarainya, Tuty mengatakan, dasar hukumnya, kita tetap mengacu pada Keputusan Presiden No 52 Tahun 1995. Khususnya ada di Pasal 4, mengatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi itu ada pada Gubernur DKI Jakarta. Kemudian adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008.
Tuti menambahkan peraturan yang dicabut itu soal tata ruangnya. Kewenangannya dan perizinan itu tidak dicabut.
Menurut Tuti, selama ini, yang dipermasalahkan adalah mengapa Keppres No. 52 Tahun 1995 tetap dipakai sebagai acuan, padahal sudah ada Perpres No. 54 Tahun 2008.
Adapun yang dipakai dalam Keppres No 52 Tahun 1995 hanyalah Pasal 4, yang berbunyi: Wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Dalam suatu acara, siaran langsung dari satu stasiun televisi terungkap, bahwa rencana membangun 17 pulau buatan menyimpan sangat banyak masalah dan melanggar peraturan yang berlaku.
Bukan hanya masalah perizinan yang tidak lengkap, juga dengan bersuaranya beberapa mantan pejabat dari beberapa kementerian yang mengungkap, bahwa ada kajian-kajian yang menunjukkan hasil negatif atas rencana pembangunan 17 pulau buatan, yang dapat membahayakan lingkungan dan juga berpotensi merugikan negara sampai triliunan rupiah.
Belum lagi para nelayan dan keluarganya serta perekonomian tradisional nelayan di pantai yang tidak pernah dijadikan bahan kajian dan pertimbangan. Diabaikannya faktor nelayan ini jelas sangat bertentangan dengan Keppres No. 52 Tahun 1995.
Tersiar berita, walaupun perizinannya belum lengkap, apartemen-apartemen yang akan dibangun di 17 pulau buatan telah dipasarkan di Singapura, Hongkong, RRC dan Taiwan.
Hal ini mengingatkan nasib pribumi Melayu di Temasek, yang sekarang bernama Singapura.
Ketika Raffles pertama kali datang di Temasek tahun 1819, jumlah bangsa Cina hanya sekitar 20 hingga 30 orang, tidak sampai 0,5 persen dari seluruh penduduk Temasek pada waktu itu. Kemudian Inggris mengimport kuli-kuli bangsa Cina.
Sekarang di tahun 2017 populasi bangsa Cina di Singapura 74 persen, pribumi Melayu hanya tinggal 14 persen, dan bangsa India 11 persen.
Dengan naiknya harga tanah di Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, telah terlihat kecenderungan, pribumi sedang digeser ke Jakarta Selatan atau bahkan keluar kota Jakarta.
Cukup banyak warga Jakarta yang sekarang sangat menyadari bahayanya apabila rencana pembangunan 17 pulau buatan dilanjutkan, dan kemudian hunian di pulau-pulau buatan tersebut akan dihuni oleh orang-orang asing dari Singapura, Hongkong, Cina dan Taiwan.
Indonesia menganut azas Ius Soli, yakni kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran. Melihat sejarah Singapura, tidak tertutup kemungkinan, kalau pembanguan 17 pulau buatan dilanjutkan, bahkan ditambah dengan Giant Sea Wall, dalam waktu sekitar 20 tahun Jakarta, Ibukota Republik Indonesia dapat mengalami nasib seperti Singapura, artinya Pribumi tersingkir ke pinggir Ibukota.
Maraknya berbagai penyelundupan, terutama penyelundupan narkoba yang berlangsung di Pantura Jakarta menambah panjang alasan untuk menolak pembangunan 17 pulau buatan dan Giant Sea Wall.
Oleh karena itu, bukan lagi masalah peraturan, perizinan, amdal dsb., yang di negeri ini semua dapat diatur.
Faktor pertahanan, keamanan Negara dan Kedaulatan Bangsa sekarang menjadi pertimbangan yang sangat penting.
Warga Jakarta Telah Menentukan Sikap
Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI awal tahun 2017 terdapat polarisasi sehubungan dengan rencana pembangunan 17 pulau buatan.
Program Ahok Djarot yang didukung oleh para pengembang, jelas akan melanjutkan pembangunan 17 pulau buatan. Sedangkan pasangan Anies-Sandi dengan tegas menyatakan menolak rencana reklamasi alias pembangunan 17 pulau buatan.
Di Pilkada DKI putaran dua, jumlah pemilih tetap adalah 7.218.254. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.591.198 warga Jakarta menggunakan hak pilihnya. Pasangan Anies-Sandi dipilih oleh 3.240.057 warga Jakarta. Prosentase perolehan suara 57,95 persen.
Warga Jakarta yang memilih Ahok-Djarot sebanya 2.351.141 orang, atau hanya 42,05 persen suara. Perbedaannya sangat besar, hampir satu juta rakyat, dan perbedaan prosentase sebanyak dua digit, hampir 16 persen.
Kalau dihitung dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) putaran dua sebanyak 7.218.254 suara, maka keseluruhan 4.867.113 warga Jakarta yang tidak mendukung program Ahok Djarot. Artinya menolak pembangunan 17 pulau buatan.
Di Jakarta Selatan pasangan Ahok-Djarot kalah sangat telak. Dengan memperoleh suara 37,9 persen, sementara pasangan Anies-Sandiaga mendapat 62,1 persen. Perbedaan dukungan rakyat kepada Anies-Sandi mencapai 24,2%.
Menjelang pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, Menko Maritim mencabut Moratorium pembangunan 17 pulau buatan dan menyatakan, bahwa pembangunan 17 pulau buatan harus dilanjutkan.
Melihat gigihnya pemerintah pusat memaksakan rencana pengembang untuk pembangunan 17 pulau, tentu menimbulkan tandatanya besar, ada kepentingan besar apa yang membuat pemerintah pusat melawan kehendak rakyat, dalam hal ini mayoritas warga Ibukota Jakarta.
Ini mengingatkan pernyataan (waktu itu) Gubernur DKI Ahok yang dibahas di TvOne. Ahok menyatakan bahwa kalau bukan karena pengembang, Jokowi tidak bisa jadi presiden, kalau mengandalkan APBD.
Juga pernyataan Kwik Kian Gie di acara ILC tanggal 21 Oktober 2014, di mana Kwik mengatakan, dia mendengar kabar bahwai Jokowi dikendalikan oleh 9 Tai pan. Hal ini tentu mengesankan, bahwa dukungan besar pemerintah pusat kepada para pengembang, adalah sebagai balas budi.
Namun langkah balas budi ini bertentangan dengan kehendak mayoritas pemilih dalam pilkada DKI, yang memilih pasangan yang menolak pembangunan 17 pulau buatan.
Pada saat ini, penolakan dari organisasi-organisasi berbagai Perguruan Tinggi dan alumni Perguruan Tinggi serta berbagai elemen masyarakat sudah semakin gencar.
Sejarah akan mencatat, apakah pemerintah Joko Widodo berhasil mengalahkan kehendak rakyat, dalam hal ini sehubungan dengan pembangunan 17 pulau buatan dan Giant Sea Wall.
[***]Ketua Komite Nasional Pembela Kedaulatan NKRI dan Martabat Bangsa (PKNMB)
BERITA TERKAIT: