Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Inilah Ekonomi, Bodoh

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/gede-sandra-5'>GEDE SANDRA</a>
OLEH: GEDE SANDRA
  • Jumat, 08 September 2017, 16:51 WIB
INVESTOR akan datang ke negeri kita bila kondisi ekonomi Indonesia sudah mereka pandang menguntungkan.

Seribu kali lagi pun para pejabat berpidato mengundang  investor setiap ke luar negeri, mereka tetap akan berpikir berkali-kali untuk datang ke Indonesia. Belasan kali lagi pun pemerintah keluarkan kebijakan yang mempermudah investasi, deregulasi dan seterusnya, mereka masih akan tetap ragu untuk berinvestasi.

Bukan karena masalah politik dan keamanan para investor ragu untuk datang. Presiden Jokowi telah berhasil dengan baik melalui fase sebelas bulan krisis politik yang diciptakan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok. Publik menjadi saksi kepiawaian Jokowi menenangkan massa besar Islam dan melumpuhkan satu persatu lawan-lawan politiknya dengan efektif. Situasi politik dan keamanan relatif baik.Tetapi masalahnya adalah pada ekonomi.

Kami setuju pada pandangan ekonom Faisal Basri (termuat dalam web pribadinya: klik di sini), tentang hal yang menurut kami adalah salah satu kesalahan dalam pengelolaan ekonomi. Yaitu saat pemerintah menginginkan suku bunga perbankan turun demi memacu kredit investasi, tapi pada saat yang sama pemerintah juga terus aktif mencari utang lewat pasar dan memasang suku bunga yang tinggi pula.

Sesuai undang-undang, Bank Indonesia bersifat independen, bekerja sesuai dengan mekanisme pasar. Sehingga sulit diintervensi oleh pemerintah termasuk memintanya untuk menurunkan suku bunga acuan. Karena faktanya pemerintah melalui Kementerian Keuangan terus masuk ke pasar menerbitkan surat utang dengan suku bunga tinggi.  

Kesalahan lainnya ada pada pemasangan suku bunga tinggi, yang menyebabkan imbal hasil surat utang Indonesia selalu menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik. Kebijakan ini memang sangat menguntungkan bagi para bondholder, tapi merugikan negara di masa depan karena harus bayar bunga utang lebih tinggi dibanding negara peer. Kebijakan yang hanya menguntungkan bondholder ini tidak hanya terjadi di setahun terakhir pemerintahan Jokowi, tetapi juga pada separuh masa pemerintahan SBY. Pelakunya adalah Menteri Keuangan Terbaik se-Asia: Sri Mulyani.

Kebijakan yang agresif mencari utang di pasar tapi dengan royal memasang suku bunga tinggi, ini mungkin yang menjelaskan kenapa ke depannya kita semakin "sesak" dengan pertumbuhan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang (debt service).  Contohnya, tahun 2018 pemerintah berencana mengalokasikan Rp 646 triliun hanya untuk membayar cicilan dan pokok utang, tumbuh 20 persen dari tahun 2017. Sementara pembiayaan infrastruktur direncanakan di tahun 2018 adalah sebesar Rp 409 triliun, hanya tumbuh 5,5 persen dari anggaran perubahan tahun 2017.

Kemudian, dibandingkan dengan total RAPBN 2018 sebesar Rp 2.204 triliun, maka alokasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang adalah yang terbesar di APBN, mencapai 29,3 persen. Lebih besar dari anggaran pendidikan yang selalu 20 persen APBN, dan apalagi anggaran infrastruktur yang hanya 18,5 persen dari APBN.

Sementara rasio utang terhadap ekspor kita tahun 2017 berada di level 173 persen. Rasio utang terhadap ekspor menjelaskan kemampuan bayar utang yang berkelanjutan. Ekonom, Lana Soelistianingsih, menjelaskan, bahwa batas aman rasio ini adalah di bawah 125 persen. Indonesia sudah jauh melewatinya.

Fenomena porsi terbesar anggaran digunakan untuk membiayai utang, pertumbuhan pembayaran utang lebih tinggi dari pembiayaan infrastruktur (investasi), rasio utang terhadap ekspor yang sangat tinggi, semuanya mengindikasikan terjadinya debt overhang dalam ekonomi Indonesia.

Dalam paper yang berjudul The Macroeconomics of Debt Overhang (sumber: klik di sini), disebutkan bahwa debt overhang dapat menyebabkan penurunan investasi. Ini cocok dengan hasil suvey Biro Pusat Statistik (BPS) beberapa hari yang lalu, bahwa telah terjadi deflasi sebesar 0,07 persen. Memang ada pejabat yang memuji terjadinya deflasi, tapi jangan salah: deflasi juga dapat menyebabkan menurunnya investasi di sektor riil dan bursa saham.

Bila perekonomian yang riil tidak bergerak, sementara surat utang lebih menguntungkan (karena yield yang tinggi), investor akan lebih memilih masuk ke surat utang daripada ke sektor riil. Sektor riil pun akan semakin lesu yang mengakibatkan kemiskinan bertambah.

Jadi kemiskinan bukan bertambah karena BPS tidak koordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian. Dengan mendapat beras miskin, orang tidak akan terangkat dari kemiskinan. Penciptaan lapangan kerjalah yang mampu angkat rakyat dari kemiskinan. Namun karena tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5 persen, biasa-biasa saja untuk ukuran Indonesia, lapangan kerja yang tercipta belum mampu mengurangi kemiskinan.

Ada senior yang bilang, jangan-jangan bila ekonomi Indonesia dibiarkan berjalan auto pilot, tidak diganggu oleh para pengambil kebijakan, malah mungkin dapat tumbuh lebih tinggi daripada sekarang. Inilah ekonomi, bodoh! ***   

Penulis adalah peneliti pada Lingkar Studi Perjuangan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA