"Pertama jika melihat komposisi partai politik yang mengajukan hak angket KPK di dominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi terlihat takut kehilangan dukungan politiknya dari partai pendukung pemerintah," kata Jajat melalui keterangan tertulis kepada redaksi, Rabu (14/6).
Kedua imbuh Jajat dengan tidak mengambil sikap sebaliknya Presiden Jokowi secara tidak langsung menyetujui angket tersebut. Apalagi kata Jajat, Jokowi hingga saat ini masih merupakan kader dari PDIP yang mana sebelumnya PDIP secara terang-terangan mempunyai keinginan untuk membatasi umur KPK hanya 12 tahun.
“Presiden saat ini seperti dalam posisi tersandera, disatu sisi tidak ingin terjadi kegaduhan politik baru yang bisa mengancam posisinya sebagai orang nomor satu, disisi lain sebagai seorang petugas partai harus tunduk dan taat kepada keputusan partai dalam hal ini PDIP, namun sekali lagi sikap non-blok seperti ini sangat tidak layak dilakukan, mengingat KPK adalah lembaga yang berada dibawah Presiden langsung," tegas Jajat.
Menurut Jajat, tidak adanya pembelaan kepada KPK oleh Presiden bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya, Jokowi akan dianggap tidak pro pemberantasan korupsi karena hingga saat ini hanya KPK yang menjadi harapan dalam pemberantasa korupsi, selain itu saat ini KPK juga tengah gencar mengungkap kasus korupsi berjamaah e-KTP yang disebut-sebut menyeret sejumlah nama anggota DPR-RI yang seharusnya mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk Presiden.
“Rakyat harus mencatat jika Presiden Jokowi ternyata lebih memilih bersikap non-blok yang berarti hanya mementingkan kepentingan politiknya. Hal ini pula merupakan pengingkaran janji yang kesekian kali oleh Jokowi yang sebelumnya akan memperkuat KPKâ€, demikian Jajat.
[san]
BERITA TERKAIT: