ARTIKEL JAYA SUPRANA

Mengejawantahkan Pancasila

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Selasa, 13 Juni 2017, 19:05 WIB
Mengejawantahkan Pancasila
Pancasila/net
ALKISAH Sri Sultan Arif dari Kesultanan Bijaksana sempat menuntut ilmu filsafat di Universitas Indonesia untuk tekun mempelajari Pancasila secara luas dan mendalam.

Sri Sultan Arif sangat terkesan maka menerapkan Pancasila sebagai landasan falsafah Kesultanan Bijaksana dengan modifikasi pada sila ke tiga menjadi Persatuan Kesultanan Bijaksana dan sila ke lima menjadi Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Kesultanan Bijaksana.  

Maka Sri Sultan Arif memaklumatkan sebuah Kesul (Keputusan Sultan) bahwa segenap kepala daerah di kesultanan Bijaksana hukumnya wajib mampu menghafal dan mengucapkan lima sila yang tersurat di dalam Pancasila.

Demi menjamin segenap kepala desa kesultanan Bijaksana benar-benar mau mampu menghafal dan mengucapkan Pancasila maka Sri Sultan Arif membentuk Tim Penilaian Penghafalan dan Pengucapan Pancasila yang bertugas ke segenap daerah untuk secara langsung  menguji kemampuan setiap kepala daerah menghafal dan mengucap Pancasila . Maka berangkatlah TP4 ke setiap desa Kesultanan Bijaksana untuk menguji setiap kepala desa di dalam wilayah Kesultanan Bijaksana.

Setelah tiga bulan berlalu, TP4 menghadap Sri Sultan untuk melaporkan hasil penunaian tugas . Ketua TP4 melaporkan hasil pengujian bahwa ada 89 kepala daerah telah teruji mampu menghafal Pancasila secara paripurna dan sempurna. Sri Sultan Arif merasa heran karena ada 90 daerah berada di dalam wilayah kesultanan Bijaksana, kenapa yang dilaporkan mau dan mampu menghafal dan mengucapkan Pancasila hanya 89 kepala daerah?.

Dengan takut-takut, Ketua TP4 melaporkan bahwa memang ada seorang kepala daerah  tidak mampu mengucapkan Pancasila sebab kebetulan penyandang tuna wicara. Maka Sri Sultan Arif memutuskan untuk datang sendiri ke desa sang kepala desa yang tidak mampu mengucapkan Pancasila. Dalam perjalanan, Sri Sultan Arif melewati desa sang kepala desa yang tuna wicara maka tidak mampu mengucapkan Pancasila.

Ternyata di desa tersebut, Sri Sultan melihat kenyataan bahwa umat beragama hidup rukun dan damai dalam suasana saling menghargai dan menghormati, puskesmas memberikan pelayanan kesehatan secara gratis bagi segenap warga desa, panti jompo merawat kaum manula, asrama yatim piatu menampung anak-anak yatim piatu, pendidikan gratis, masyarakat desa bersatupadu membangun desa dengan semangat gotong royong tanpa ada rakyat yang digusur, masalah-masalah pedesaan dibahas bersama di dewan desa secara musyawarah mufakat dan pemerataan kemakmuran sehingga tidak ada kesenjangan sosial selaras dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Kesultanan Bijaksana, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Kesultanan Bijaksana.

Kemudian Sri Sultan Arif tetap menjumpai sang kepala desa yang tuna wicara dan juga tidak mampu mengucapkan Pancasila itu. Sang Sri Sultan Arif pun datang bukan untuk menguji namun menganugerahkan penghargaan kepada sang kepala desa yang telah terbukti gigih berjuang mengejawantahkan Pancasila demi menyejahterakan rakyat desa dalam suasana gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kerta raharja.[***]

Penulis adalah pembelajar Pancasila

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA