Demikian disampaikan ahli arkeologi dan epigrafi Pusat Arkeologi Nasional Titi Surti Nastiti dalam seminar yang bertajuk "Merajut Kebhinekaan" di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (16/5).
"Dimulai dari keprihatinan kami terhadap situasi masyarakat, sekarang yang menjadi galau karena situasi politik. Makanya, kami turut tergerak," katanya.
Dia menjelaskan perbedaan karena pilihan politik dalam Pilkada seharusnya tidak perlu sampai memecah belah masyarakat. Makanya, penting untuk mengkampanyekan tentang kebhinekaan kepada masyarakat dan mengingatkan nilai-nilai budaya bangsa.
Dia mengakui, kondisi kebhinnekaan saat ini belum sampai pada tahap mengkhawatirkan. Namun, jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin pemahamanan masyarakat tentang keberagaman Indonesia akan hilang.
"Ini mungkin akibat kurangnya pengertian mereka terhadap kebhinekaan yang punya sejarah panjang. Kebhinekaan itu sendiri dimulai dengan datangnya manusia yang bermigrasi ke Indonesia. Kemudian, terjadi pembaruan secara genetik sebagai bangsa Indonesia ini. Demikian juga budayanya," kata Titi.
Dia berharap, budaya berpolitik dengan landasan keberagaman harus kembali digalakkan. "Sekarang ini mungkin karena dangkalnya Bhineka Tunggal Ika. Padahal, itu sudah ada sejak masa prasejarah puluhan ribu tahun yang lalu. Kita ini terbentuk dari kebhinekaan, tapi mungkin sekarang jarang yang memahami seperti itu," kata Titi.
Akibat kurangnya rasa kebhinnekaan itu, lanjutnya, perbedaan yang semula berdampingan menjadi berhadapan. Hal itu mungkin muncul karena minimnya rasa saling menghormati.
"Sekarang ini yang ada hanya ‘kamu’ dan ‘kami’. Tidak ada lagi kata ‘kita’," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: