Ada foto yang memperlihatkan kelompok mahasiswa membakar foto Soeharto dan melemparkannya ke udara. Foto yang lain memperlihatkan seorang anak membawa foto hitam putih Soeharto dengan bagian mata yang telah ditutup sebelah. Di atasnya tertulis: Raja Koruptor.
Ada juga foto yang memperlihatkan mahasiswa membawa spanduk besar berwarna hitam dengan tulisan berwarna putih dalam ukuran mencolok: Adili Soeharto.
Foto yang lain memperlihatkan mahasiswa memasang poster Soeharto di depan sepeda motor. “Dicari Bapak Pembangunan KKN, Bapak Pembunuh Rakyat, Orang yang Mempunyai Politik Adu Domba Warisan Belanda,†begitu tulisan di poster itu.
Sebuah foto memperlihatkan seorang mahasiswa membuka kawat berduri yang dililitkan di pagar. Sementara di sebelahnya terdapat kartun wajah BJ Habibie dan tulisan “Ganti, Bentuk Pemerintahan yang Lebih Berwibawa.â€
Foto yang ini rasanya diambil setelah Soeharto menugndurkan diri pada 21 Mei 1998.
Selain foto, juga dipamerkan halaman muka sejumlah surat kabar dan majalah yang ikut mewarnai perjalanan Reformasi 1998.
Di ruang aula Galeri Cipta, di samping poster besar berisi tulisan-tulisan yang mengingatkan kita pada begitu banyak kasus pelanggaran HAM di era Soeharto, penyelenggara pameran memajang cover muka majalah
D&R edisi Maret 1998.
Ini salah satu cover majalah yang istimewa pada masa itu, menggambarkan wajah Soeharto di atas kartu poker dengan tulisan sebagai judul “Presiden di Tengah Krisisâ€.
Juga ada halaman muka
Harian Kompas yang menurunkan laporan dari pernyataan Panglima ABRI Jenderal Wiranto sehari setelah Ketua DPR RI Harmoko meminta Soeharto mengundurkan diri.
“ABRI: Itu Pendapat Individualâ€, begitu judul berita yang diletakkan pada posisi paling atas, bersama foto Wiranto saat memberikan pernyataan. Kalimat dalam judul itu adalah inti dari jumpa pers Wiranto.
Di bawahnya ditempatkan sebuah foto yang memperlihatkan ribuan mahasiswa di halaman gedung DPR/MPR, serta berita berjudul “Presiden Hadapi dengan Tegarâ€. Maksudnya, Presiden Soeharto menghadapi permintaan mundur dari Harmoko dengan tegar.
Adapun pernyataan Harmoko agar Soeharto mundur ditempatkan di bawah foto demo mahasiswa dengan judul berita “Pimpinan DPR: Sebaiknya Pak Harto Mundur.â€
Masih di halaman muka harian Kompas itu ada dua berita lagi di bagian bawah yang masing-masing bejudul “Harus Diikuti Langkah Konkret†dan “Mendesak, Diadakannya Sidang Istimewa MPRâ€.
Di bagian lain ruang pameran, halaman muka
Harian Merdeka edisi 29 Mei 1998 juga ikut dipamerkan.
Judul utama harian itu berbunyi “Hasil Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR/MPR, Sidang Istimewa Akhir 1998.â€
Lalu sebuah berita di samping headline berjudul “Mahasiswa Terus Menuntut.†Berita lain di belahan atas berasal dari pernyataan Probo Sutejo, adik tiri Soeharto. “Daftar PT Bukan Berarti Kekayaa, Probo: Pak Harto Tidak Lari.â€
Bagian paling menonjol dari halaman muka
Harian Merdeka edisi hari itu adalah foto utama yang memperlihatkan Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri yang sedang tersenyum lebar dan Direktur Asia Pasifik International Monetary Fund (IMF) Hubert Neiss yang duduk di sampingnya dengan senyum dikulum. Foto diambil dari jumpa pers Mega dan Neiss usai pertemuan sehari sebelumnya.
Semua foto dan benda-benda memorabilia yang dipamerkan di Galeri Cipta mampu mengingatkan kita pada sekeping cerita kelam yang menjadi penanda peralihan rezim di negara ini. Dari rezim otoritarian kepada rezim yang diharapkan demokratis dan berorientasi pada pembangunan.
Halaman muka
Harian Merdeka edisi 29 Mei 1998 itu mengingatkan pada persoalan lama yang masih tersisa dan hingga hari ini terus membebani Indonesia.
Persoalan itu adalah skema pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang kolaps menyusul krisis moneter di tahun itu.
Hubert Neiss patut dianggap sebagai salah satu arsitek BLBI. Neiss yang menyarankan pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia untuk mengambil sejumlah kebijakan yang pada akhirnya membawa Indonesia pada krisis yang lebih dalam.
Neiss misalnya menyarankan agar tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen menjadi 80 persen, sehingga banyak perusahaan yang bangkrut.
Neiss dan IMF juga yang menyarankan agar pemerintah menutup 16 bank kecil. Kebijakan ini justru memancing rush besar-besaran di bank-bank swasta besar lainnya, sehingga krisis justru semakin buruk, dan pemerintah menyuntikkan BLBI senilai 80 miliar dolar AS.
Tindakan ini termasuk upaya penyelamatan bank terbesar di dunia, menurut Mantan Menko Ekuin Rizal Ramli yang beberapa hari lalu memberikan keterangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali menyelidiki kasus ini.
Neiss juga yang menyarankan agar pemerintahan Soeharto menaikkan harga BBM sebesar 74 persen. Kenaikan harga BBM yang luar biasa ini tentu saja memicu kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan pada akhirnya menciptakan kerusuhan di banyak kota di Indonesia, diawali dari Makassar, Solo, Medan dan puncaknya di Jakarta.
Menurut cerita Rizal Ramli, dua hari sebelum pemerintahan Soeharto menaikkan harga BBM, dirinya bertemu dengan Neiss di Hotel Grand Hyaat.
Di dalam pertemuan itu, Neiss menyampaikan usulnya dan mengatakan kenaikan harga BBM tidak akan berdampak luar biasa. Sementara Rizal berusaha mementahkan keinginan Neiss.
Belakangan Neiss terbukti salah. Setelah harga BBM dinaikkan, yang terjadi adalah sebaiknya. Jakarta dilanda kerusuhan. Penjarahan dimana-mana. Mahasiswa bentrok dengan polisi dan tentara. Tak sedikit yang tewas dan mati terpanggang kebakaran di mall-mall yang dijarah.
Itu sebabnya, Rizal Ramli menyebut kerusuhan di bulan Mei 1998 itu sebagai Kerusahan yang Diprovokasi IMF,
IMF's Provoked Riots.
Dan, wajah yang provokator itu sudah pas ikut dipajang dalam pameran mengenang Reformasi 1998.
Semoga kita belajar dari kejadian-kejadian ini. [***]
BERITA TERKAIT: