"Dengan satu HP (handphone) bisa menyebarkan apa saja. Kalau enggak pakai HP, bisa pakai arloji, pakai kalung dan seterusnya. Yang ingin saya katakan, perkembangan teknologi adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak," ujar Sekretaris Dewan Kehormatan PWI, Wina Armada, dalam diskusi "Memerangi Hoax, Memperkuat Media Siber Nasional" di arena World Press Freedom Day 2017 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (1/5).
Menurut pakar hukum pers ini, dari perkembangan teknologi itu terjadi demokratisasi dan masyarakat bisa mengkritik siapa saja. Struktur masyarakat pun berubah, informasi membanjir murah dan gratis, proses belajar berubah drastis dan tata nilai masyarakat bergeser.
Dalam konteks dunia pers, penguasaan teknologi informasi sudah dimiliki semua masyarakat. Artinya, jika dahulu hanya pers yang bisa produksi informasi yang massal dan murah, kini masyarakat pun bisa melakukan hal sama.
"Di situ ada industri yang terancam, terutama media massa pers cetak. Pers cetak jadi lamban dan mahal. Teras iklan di media cetak semakin melorot dan tergerus di seluruh dunia. Semakin ke perkotaan semakin besar dampak teknologi informasi ini," ujar Wina.
Dampak lainnya, informasi bisa muncul mendadak dan melahirkan citizen reporter yang tidak membutuhkan kode etik tertentu. Inilah cikal bakal hoax.
"Saya katakan citizen reporter, bukan citizen journalism. Karena jurnalisme membutuhkan kualifikasi tertentu. Sehingga muncullah banyak wartawan abal-abal. Mementingkan informasi yang cepat. Dari sini muncul ujaran kebencian, fitnah dan adu domba," jelas Wina.
Ia katakan, informasi-informasi hoax memiliki beberapa ciri utama. Yaitu, provokatif, sumber tidak jelas, aktual, diskriminatif, biasanya dengan tanda-tanda khusus seperti huruf tebal dan huruf besar, dan hampir sebagian besar dari hoax mengandung unsur editing.
Untuk memerangi hoax di dunia pers profesional, ia menyarankan Dewan Pers menetapkan langkah-langkah, dimulai dari memperjelas badan hukum dari lembaga-lembaga pers. Kemudian, harus ada riset yang memperjelas bahwa sebagian besar hoax bukan berasal dari kalangan pers.
Dewan Pers harus mengusahakan agar pers menjadi institusi paling kredibel dan terpercaya di mata publik. Jika masih ada insan pers menyebarkan atau membuat hoax, sanksi baginya harus diperberat.
"Harus ada penegakan kebebasan pers, tapi ketaatan pers pada kode etik dan kaidah pers harus diperketat," tegas Wina.
"Pers adalah profesi yang terpercaya maka Anda diberikan keistimewaan. Konsekuensinya, Anda harus menegakkan nilai-nilai itu. Kalau tidak, Anda akan mendapat sanksi berat, misalnya tidak boleh menjadi wartawan lagi" imbuhnya.
Terakhir, ia mengusulkan berdirinya pusat informasi anti hoax. Pusat informasi ini harus lembaga independen bebas dari pengaruh pemerintah.
[ald]
BERITA TERKAIT: