Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Anies Baswedan Dan Beban Revolusi Sosial

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/syahganda-nainggolan-5'>SYAHGANDA NAINGGOLAN</a>
OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN
  • Selasa, 18 April 2017, 06:27 WIB
<i>Anies Baswedan Dan Beban Revolusi Sosial</i>
Syahganda (kiri) dalam sebuah diskusi yang digelar RMOL/net
SEKITAR awal 90-an, Anies Baswedan mengundang pimpinan gerakan mahasiswa dari berbagai kampus negeri utama di Bulak Sumur Yogyakarta. Undangan ini dimaksudkan untuk revitalisasi front perjuangan mahasiswa anti Suharto. Saat itu Anies menjadi ketua Senat Mahasiswa UGM. Saya hadir di sana sekedar pengamat, karena bukan mahasiswa lagi, dan posisi saya "mendampingi" aktifis mahasiswa ITB, Wahyono (FT ITB 88) dan Noorcholis (GD ITB 88), divisi hubungan antar kampus KM ITB, yang keduanya kader saya di kampus. Dari UI hadir Chandra Hamzah dan Nadia (mantan istrinya) putri alm. Nurcholis Majid, serta beberapa aktifis lainnya.

Diantara kampus dan matisurinya gerakan mahasiswa, Anies mencoba membangun kesadaran kritis berskala nasional untuk kembali melawan rezim Suharto kala itu dan sekaligus membangkitkan kesadaran mahasiswa untuk tugas sejarahnya sebagai "avant garda" revolusi di negara negara berkembang.

Pada konteks ruang dan waktu saat itu, gerakan yang dilakukan Anies Baswedan, memberikan benih benih revolusioner bagi diterimanya suasana revolusioner menjelang akhir rezim Suharto, di mana Amien Rais mendapatkan pijakan dalam aksinya. Tentu saja, gerakan mahasiswa di luar kampus UGM, di Yogyakarta, merupakan fenomena nyata juga bagi suasana revolusioner saat itu. Namun, sekali lagi, munculnya sosok Amien Rais yang melawan Suharto "face to face" sangat membutuhkan persemaian di kampusnya sendiri, yang mana Anies Baswedan memberikannya.

Apa yang saya uraikan di atas merespon dua hal penting tentang sejarah bangsa kita. Pertama, tudingan dari aktifis gerakan mahasiswa 80 an dan 90 an bahwa Anies bukan aktifis di masa lalu, seperti yang dilontarkan aktifis perempuan di Yogya, nyonya D.M Pakpahan di WAG Indonesia Democracy (IDe) serta beberapa aktifis di WAG Indemo (Indonesia Democracy Monitoring) sama sekali tidak benar. Orang menjadi aktifis di masa Suharto adalah orang orang pemberani dan revolusioner serta berorientasi pada cita cita luhur Bangsa Indonesia. Karena di masa itu, pilihan menjadi aktifis tidak menjadi opsi para jiwa jiwa penakut yang hanya mencari aman dalam kehidupan ini. Dan Anies memilih menjadi aktifis mahasiswa.

Kedua, apakah aktifis di masa lalu (masa mahasiswa) mempunyai peran penting bagi seseorang dalam menciptakan perubahan besar selanjutnya?

Pertanyaan kedua ini selalu mengganggu pikiran saya terkait Anies Baswedan ini. Setelah Anies Baswedan kembali dari Amerika selama hampir 6 tahun menimba ilmu di sana, Anies terputus dari gerakan revolusionernya di masa mahasiswa. Berbagai jejak pikiran dan aksi Anies Baswedan terlihat begitu moderat dan kehilangan ruh. Meskipun moderat ini bukan berati sebuah kerusakan moral. Namun, bagi kaum aktifis, moderat di sini menunjukkan berkurangnya tingkat revolusioner gerakan tersebut. Kurang revolusioner artinya juga kurang bersifat struktural gerakan dan cita cita gerakannya.

Anies come back

Ernest Mandel, seorang revolusioner Eropa setengah abad lalu, menyangkal cara berpikir elit-elit Partai Komunis di Eropa yang meragukan revolusionaritas gerakan mahasiswa. Menurut elit-elit partai itu, mahasiswa ini hanya tercerahkan sementara saja, lalu mereka akan tamat kuliah, lalu menjadi bos perusahaan atau birokrasi dan akan segera menjadi penindas. Mendal membantah bahwa kesadaran revolusioner mahasiswa ini tentu bisa saja hilang, namun jika lingkungan revolusionernya bisa diciptakan, maka akan terjadi kontinuitas revolusionaritas mereka. Di sini, faktor eksternal atau lingkungan dianggap berperan penting dalam totalitas sikap sikap revolusioner seseorang.

Saya membaca secuil statemen Amin Rais bahwa Anies Baswedan "come back": kembali ke jalan revolusioner. Hal ini diungkapkan Amien ketika acara Sholat Subuh berjamaah di suatu masjid di Jakarta.

Ini memberikan arti pentingnya tesis Ernest Mandel terhadap pikiran dan tindakan Anies Baswedan saat ini, yang bersemai dalam suasana revolusioner.

Ada dua hal yang menurut saya begitu revolusioner dalam pikiran Anies Baswedan saat ini. Pertama, soal reklamasi. Kedua, soal perumahan tanpa DP (uang muka).

Baru-baru ini saya diundang tim Anies Sandi lintas alumni perguruan tinggi berbicara reklamasi. Reklamasi adalah suatu skandal tentang power yang melibatkan uang ratusan bahkan ribuan triliun. Ariesman Podomoro sendiri sudah mengakui di pengadilan, mengeluarkan uang "illegal" untuk memuluskan projek reklamasi cakupan/bagian Podomoro triliunan rupiah. Belum lagi kelompok bisnis lainnya. Rizal Ramli  terguling dari kekuasaan karena antara lain ingin menghentikan reklamasi. Bagaimana pula Anies Baswedan masuk dalam putaran isu ini: menolak reklamasi?

Dengan pikiran menolak reklamasi artinya Anies Baswedan akan melakukan perang terbuka terhadap kaum kapitalis yang menguasai kota Jakarta selama ini. Dan ini adalah perlawanan terbuka dan paling revolusioner sepanjang sejarah kontemporer Jakarta, bahkan Indonesia.

Soal kedua adalah soal perumahan tanpa DP. Hal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi selama kepala kita di isi oleh pikiran pikaran kaum neo liberal yang melegitimasi perampokan hak hak orang miskin melalui instrument perbankan. Sepanjang sejarah bangsa, hanya di bawah 15% negara mampu memberikan hak-hak rakyat atas rumah. Lalu bagaimana buruh miskin yang hidupnya bertarung dengan inflasi setiap bulan untuk survival, mampu menyisihkan uang untuk rumah?

Dalam teori ekonomi kerakyatan dan semangat sosialisme memanjakan rakyat, negara memang ditempatkan sebagai instrument aktif untuk menyelesaikan hal-hal yang tidak mungkin terjadi dalam free market capitalism. Lihatlah bagaimana Belanda, misalnya, ketika sepanjang tahun 70 an 80 an melakukan pembangunan rumah murah secara massal dan nasional kepada kaum buruh. Itu membuat semua orang disana saat itu akhirnya memiliki rumah.

Pikiran Anies Baswedan untuk membuat rakyat miskin Jakarta bisa memiliki rumah tanpa DP adalah cita cita revolusioner. Hal ini memang di luar pikiran normal atau common sense (bukankah common sense itu sesungguhnya bagian dari sebuah ideologi?)

Pikiran pikiran revolusioner Anies Baswedan sesungguhnya menunjukkan bahwa Anies tengah kembali berada dalam lingkungan revolusioner. Namun, sekaligus juga memberikannya beban pekerjaan revolusi sosial yang besar. Revolusi sosial maksudnya perubahan besaran besaran ke arah kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Fundamental dan bersifat struktural.

Semoga. [***]

Penulis adalah Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA