Ada Pembaiatan Di Hotel, Harus Loyal Ke Wawan

Permainan Atut Dibeber Di Pengadilan

Kamis, 16 Maret 2017, 08:24 WIB
Ada Pembaiatan Di Hotel, Harus Loyal Ke Wawan
Tubagus Chaeri Wardana/Net
rmol news logo Modus Ratu Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan mengeruk uang korupsi di Banten sungguh unik dan berbeda dengan koruptor lainnya. Salah satunya, para pejabat Provinsi Banten dibaiat di hotel agar tunduk dan patuh menyerahkan proyek, juga dipaksa mengamankan kasus korupsi.

Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Banten Djaja Buddy Suhardja dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin. Djaja menjadi saksi untuk kasus dugaan korupsi alat kesehatan Provinsi Banten.

Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Budi Nugraha bertanya, kenapa Djaja bersedia menyalahi prosedur pengadaan alat kesehatan. Djaja pun menjawab, sebelum dilantik menjadi kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, dia dan calon kepala dinas lainnya dipaksa menandatangani pernyataan loyal terhadap perintahnya.

Djaja menuturkan, pada Februari 2006, dia dan calon kepala dinas lainnya diminta adik kandung Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan untuk berkumpul di lobi Hotel Kartika Chandra, Jakarta.

Setelah itu, mereka diminta Wawan untuk naik ke lantai 6 dan menandatangani pernyataan tersebut. "Saya harus tandatangan surat pernyataan loyal, patuh terhadap perintah Ibu gubernur melalui Pak Wawan," ungkap Djaja di di ruang sidang Koesoemah Atmadja II. Surat berisi 3 poin pernyataan loyal tersebut ditandatangani di atas materai.

Menurut Djaja, penandatanganan pernyataan komitmen loyalitas itu dilakukan atas perintah Atut. Selain itu, Djaja mengaku bahwa sebelum menerima Surat Keputusan (SK) pengangkatan, para calon kepala dinas juga dikumpulkan di rumah Atut.

"Dikumpulkan calon-calon kadis. Saudara-saudara akan dilantik besok hari jadi tidak ada hal-hal yang secara umum harus siap bagi calon-calon kepala dinas harus loyalitas," ujar Djaja menirukan perkataan Edwin, anak buah Wawan yang mengkoordinir mereka saat itu.

Surat itulah yang menjadi dasar Djaja bersedia diperintah Wawan untuk memanipulasi proyek pengadaan alat kesehatan di dinasnya.

Caranya, dengan merekayasa proses pelelangan alat kesehatan, menggelembungkan harga, dan menyusun anggaran dinas dengan pertimbangan yang memberi keuntungan kepada Wawan dan Atut. "Kalau melawan, akan diberhentikan atau dipindahkan dari jabatan kepala dinas. Saya sudah tidak berdaya apa-apa," ujarnya.

Selain itu, Djaja juga bersaksi, Atut juga pernah membaiat mereka ketika kasus suap ketua MK saat itu, Akil Mochtar dan kasus Alkes mulai terkuak.

Menurut Djaja, baiat dilakukan karena Atut mendapat laporan dari pengacaranya, Nasrullah, ada anak buahnya yang berkhianat. "Pak Nasrullah bilang ke ibu diantara kalian yang hadir ini ada yang pengkhianat. Karena itu ibu perlu ambil sumpah kami semua. Masing-masing disumpah," ujar Djaja.

Tiap orang, lanjut Djaja, mengucap sumpah yang isinya berbeda-beda. Djaja sendiri disuruh bersumpah akan setia dan tidak membocorkan apapun tentang eks Gubernur Banten itu.

Selain itu Atut juga meminta dokumen-dokumen yang dianggap membahayakan agar diamankan sambil mengancam para pejabat itu akan dilaporkan kepada penegak hukum.

"Kami berjanji tidak akan membocorkan segala sesuatu hal yang tadi disampaikan Pak Nasrullah, karena saat itu ada kasus Akil Mochtar dan korupsi alkes Tangerang. Saat itu kami juga disuruh memusnahkan dokumen, waktu itu saya masih di dinas," ungkap Djaja. Dia terpaksa menurut lantaran ada kadis yang diberhentikan dan dipindahkan.

Dalam dakwaan memang disebutkan pada sekitar Oktober 2013, Atut yang dicekal ke luar negeri terkait perkara suap Akil mengumpulkan Djaja bersama Kadis Pendidikan Banten Hudaya Latuconsina, Kadis Sumber Daya Air dan Pemukiman (SDAP) Banten Iing Suwargi dan beberapa pejabat struktural Pemprov Banten di Apartemen Soomerset Permata Hijau Jakarta Selatan untuk diminta janji setia (bai'at).

Atut yang ketakutan juga menggelar istigosah pada Oktober 2014 untuk keselamatannya.

Saat diberi kesempatan menanggapi, Ratu Atut menampik kesaksian Djaja soal surat loyalitas itu. Ratu Atut menantang Djaja menunjukkan bukti perintah itu datang darinya. "Apakah Saudara pernah menyerahkan kepada saya surat loyalitas itu kepada saya?" kata Atut kepada Djaja.

Djaja menjelaskan surat tersebut memang tak pernah ia berikan kepada Atut secara langsung. Tapi, "Pak Edwin kan atas perintah Pak Wawan. Saya menerjemahkannya ini atas perintah Ibu," jawab Djaja.

Atut bertanya lagi, seberapa yakin surat loyalitas itu diserahkan Edwin kepada Wawan atau dirinya.

Djaja menyatakan saat itu ia hanyalah pejabat di tingkat kabupaten yang tak mengerti apa-apa soal budaya itu, sehingga dia manut saja.

Atut lalu menjelaskan pentingnya menanggapi keterangan Djaja tentang 'surat loyalitas'. Sebab, menurut Atut, hal itu dijadikan senjata Djaja untuk melepaskan diri dari kesalahannya sebagai kepala dinas. "Apakah saya pernah menginstruksikan Saudara untuk melaksanakan proyek pekerjaan, pelelangan, dengan melanggar peraturan?" cecar Atut yang mengenakan baju muslim coklat dan jilbab krem motif bunga.

Djaja menjawab, Atut memang tak pernah memerintahkan langsung. Namun, lewat Wawan. "Ibu kan pernah menyuruh saya untuk mengikuti arahan Pak Wawan. Saya disuruh koordinasi dengan Pak Wawan," jawab Djaja.

Sidang berlangsung sejak pukul 10.45 hingga 20.40 WIB. Jaksa penuntut umum pada KPK menghadirkan lima orang saksi yang merupakan anak buah Atut.

Selain Djaja, saksi kedua yang diperiksa yakni Ajat Drajat Ahmad Putra, selaku Sekretaris Dinkes Banten. Kemudian, Widodo Hadi selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten; Suherman selaku Kasubag Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan pada Dinkes Banten; dan Media Warman selaku Ketua Badan Anggaran DPRD Banten 2009-2014 yang juga Sekretaris Tim Kampanye Pemenangan Pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy di Pilkada Banten 2017.

Dalam perkara ini, Ratu Atut bersama adiknya Wawan yang merupakan komisaris PT Bali Pacific Pragama didakwa melakukan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan (alkes) Rumah Sakit Rujukan Pemerintah Provinsi Banten yang masuk dalam APBD dan APBD Perubahan 2012, sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 79,79 miliar sesuai laporan hasil pemeriksaan invstigatif BPK pada 31 Desember 2014.

Selain itu, Atut juga didakwa memeras anak buahnya yaitu Djaja Buddy Suhardja sebesar Rp 100 juta, Iing Suwargi Rp 125 juta, Sutadi Rp 125 juta serta Hudaya Latuconsina sebesar Rp 150 juta sehingga seluruhnya sebesar Rp 500 juta untuk biaya pelaksanaan istigasah (pengajian).

Atut sendiri sudah divonis dalam kasus lain, yakni suap Ketua MK Akil Mochtar. Atut terbukti memberikan uang Rp 1 miliar kepada Akil Mochtar melalui advokat Susi Tur Andayani. Uang itu untuk memenangkan gugatan pilkada Kabupaten Lebak yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin.

Di tingkat pertama, Atut divonis penjara 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 5. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukumannya menjadi 7 tahun penjara. Sementara adiknya, Wawan, dihukum tujuh tahun penjara dalam kasus pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak 2013 dan Pilkada Provinsi Banten 2011. Wawan terbukti bersalah melakukan suap kepada Akil.

Pengadilan Tinggi kemudian meringankan hukuman Wawan dengan pidana lima tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan.

Namun, Majelis Hakim MA yang lagi-lagi terdiri dari Artijo Alkostar, Krisna Harahap, Surachmin, MS Lumme, dan Mohamad Askin mengembalikan hukumannya menjadi 7 tahun penjara. Wawan juga dijerat kasus tindak pidana korupsi pada proyek kasus korupsi pengadaan sarana alat kesehatan Pemprov Banten. Serta tersangka dalam kasus Alkes Tangsel.

Dalam kasus Alkes Tangsel, yakni pembangunan tiga puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, tahun 2011-2012 yang merugikan keuangan negara Rp 9,6 miliar, Wawan divonis satu tahun penjara oleh Majelis Hakim Tipikor Serang.

Wawan juga tengah dijerat KPK dalam kasus TPPU. KPK sebelumnya menetapkan Wawan sebagai tersangka pencucian uang setelah melakukan pengembangan penyidikan dalam dua kasus di atas.

Penyidik KPK telah menyita lebih dari 80 unit kendaraan terkait pencucian uang Wawan. Mulai dari mobil-mobil mewah seperti Ferrari dan Lamborghini, hingga truk-truk pengaduk semen. Penyidik juga telah menyita 17 bidang tanah Wawan di Bali. Tak hanya itu, sejumlah artis yang diduga ikut menikmati aliran dana dari Wawan pernah diperiksa KPK. Di antaranya Jennifer Dunn, Catherine Wilson serta Rebecca.

Belakangan, KPK menduga ada 300 perusahaan yang dipinjam Wawan untuk menggarap proyek-proyek pemerintah. KPK menyebut sebagian besar perusahaan yang diduga digunakan Wawan untuk menggarap proyek berlokasi di Pandeglang, Banten. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA