Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menyemai Jembatan Peradaban

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Selasa, 22 November 2016, 07:32 WIB
Menyemai Jembatan Peradaban
MEMBANGUN jembatan atau building bridges merupakan tema yang akan dikupas dalam orasi pengukuhan guru besar Ronald Holzhacker,  Ph.D dalam bidang Comparative Multilevel Governance and Regional Structure di Aula Universitas Groningen, Selasa 22 November 2016 ini.  

Orasi ini menjadi penting tak hanya karena penulis cukup mengenal sosok Prof. Holzhacker namun juga karena beliau merupakan akademisi yang sangat peduli Indonesia dan setiap tahun 2-3 kali berkunjung ke universitas dan instansi di tanah air.

Perjumpaannya dengan Indonesia, mahasiswa dan juga budaya memberikan kesan yang cukup mendalam sehingga bukan hanya isi orasinya yang banyak mengulas Indonesia namun juga ikon-ikon Indonesia semisal pemandangan Candi Borobudur dan Jakarta juga ikut menyemarakan slide-slide orasinya. Kata Indonesia juga muncul hampir di setiap halaman paper orasinya. Dari 31 halaman paper orasi yang disiapkan, ada 30 kata Indonesia, tidak termasuk beragam nama kota dan pulau di tanah air, mulai dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, Yogyakarta, Lombok, Bali dan lainnya. Ini tentu menarik, karena dalam setiap paper saya yang jumlahnya tak jauh berbeda, nama Indonesia, pulau dan kota yang disebut tak akan semasif orasi Prof. Holzhacker.

Ditilik dari keahlian akademiknya, pria kelahiran Chicago, Amerika Serikat yang menuntaskan pendidikan doktoralnya dalam bidang Ilmu Politik di Universitas Michigan ini lebih terkait tata kelola kepemerintahan (governance), hak azasi manusia (HAM), dan interaksi antara institusi pemerintah dan organinasi masyarakat madani (civil society), sebagai paranata penting di dalam sistem sosial dan politik yang demokratis. Hal ini sejalan dengan isi pidato guru besarnya yang bertajuk "Building Bridges: Governance, Societal Impact, and Sustainability Society."

Dalam orasinya, Direktur the SPIRIT Indonesia Groningen (SInGA) ini mengawali dengan cerita dari kota Siena Italia sekitar abad ke-14. Kisah yang terkenal dengan "Allegory of Good and Bad Government on City Life and the Countryside" ini menekankan pentingnya keputusan dewan kota sebagai praktik tata kelola kepemerintahan terhadap peri kehidupan masyarakatnya.

Pesan dari kisah tersebut, tata kelola pemerintahan yang baik akan membawa pada kesejahteraan kota, berkembangnya ekonomi dan perdagangan dengan kota sekitar sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat dan juga pemerintah. Sebaliknya, tata kelola kepemerintahan yang buruk akan menjadi awal pembusukan kota sehingga berdampak pada gagal panen dan kelaparan misalnya, yang bukan hanya akan dirasakan warga kota namun juga menyebar ke berbagai pelosok sehingga berakibat pada rapuhnya ketahanan pangan yang berdampak pada ketahanan kota secara keseluruhan. Tanpa daya tahan, maka dengan mudah kota di zaman itu dikuasai dan dijajah penguasa lain.

Dengan demikian, muara dari keputusan dan tata kelola kepemerintahan harus berpijak dan berpihak pada masyarakatnya saat ini dan juga masyarakat di masa depan sehingga konsep tata kelola kepemerintahan berkelindan dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan. Hal ini selaras dengan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang lebih popular dengan jargon "Our Common Future" yang menyatakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) merupakan ikhtiar untuk mempertemukan kebutuhan saat ini tanpa harus berkompromi dengan keharusan pemenuhan kebutuhan generasi selanjutnya di masa yang akan datang.

Mengancik aspek kelembagaan, tata kelola kepemerintahan dilaksanakan dalam banyak jenjang sehingga hubungan antarjenjang menjadi krusial agar tidak terjadi keterputusan. Di sinilah mekanisme kelembagaan perlu diperkokoh untuk memastikan interaksi yang konstruktif dan demokratis antara warga dengan pemerintah. Karena warga banyak dan tersebar, maka artikulasi kepentingan warga ketika berhadapan dengan pemerintah direpresentasikan dengan kehadiran organisasi masyarakat madani yang mampu secara aktif berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam paparannya, Prof. Holzhacker berpandangan bahwa tata kelola kepemerintahan bukanlah tujuan. Tujuan sejati bahwa tata kelola kepemerintahan adalah dampak dan hasil dari proses pengambilan keputusan yang akan dinikmati masyarakat secara luas.  Implikasinya, kehadiran tata kelola kepemerintahan untuk meningkatkan dan menjaga pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan utama namun bagaimana pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dinikmati bersama seluruh warga negara dengan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan, sistem sosial yang inklusif, keadilan dan juga menjamin hak-hak azasi manusia.

Dari sanalah, maka komunitas global lewat PBB menetapkan 17 tujuan pembangunan yang berkelanjutan dengan 169 sebagai ambisi agenda bersama yang akan dilaksanakan selama lima belas (15) tahun ke depan yang mencakup upaya: (1) mengentaskan kemiskinan di semua tempat dalam bentuk apapun; (2) mengakhiri kelaparan melalui ketahanan pangan dan peningkatan gizi serta mempromosikan pertanian berkelanjutan; (3) memastikan hidup yang sehat dan nyaman; (4) memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan berkeadilan dengan mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup; (5) pencapaian kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan; (6) memastikan ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan; (7) memastikan akses energi yang terjangkau, handal, berkelanjutan dan modern; (8) mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif; (9) membangun infrastruktur yang tangguh, mempromosikan industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan serta membantu pengembangan inovasi; (10) mengurangi ketidaksetaraan di dalam dan antarnegara; (11) membuat kota dan pemukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan; (12) memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan; (13) tindakan mendesak untuk mitigasi perubahan iklim dan dampaknya; (14) melestarikan penggunaan sumber daya laut untuk pembangunan berkelanjutan; (15) melindungi, memulihkan, dan mempromosikan pemanfaatan berkelanjutan dari ekosistem, pengelolaan hutan, memerangi degradasi, dan menghentikan degradasi lahan serta menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati; (16) mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, memberikan akses keadilan bagi semua dan membangun kelembagaan yang terakunkan, inklusif dan mangkus; (17) memperkuat sarana implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan di Indonesia, Prof. Holzhacker bersama Prof. Rafael Wittek dan Prof. Johan Woltjer secara khusus menjadi co-editor buku yang diterbitkan oleh Springer New York yang bertajuk Decentralization and Governance in Indonesia. Isi buku tersebut sebagian besar memuat kontribusi mahasiswa PhD Indonesia di dalam 8 bab dari 10 bab yang ada dengan beragam topik bahasan, dari mulai terkait kesenjangan akses dan kualitas pendidikan, transportasi kota sampai jejaring korupsi. Setelah malang melintang dari benua Amerika, Australia dan Eropa, kini Prof. Holzhacker memperluas sayap interaksi akademiknya dengan Asia, dari mulai Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam and Myanmar. Tepat kiranya jika orasi pengukuhan guru besarnya menjadi sebuah prakarsa menyemai jembatan peradaban. [***]

Penulis adalah peneliti di Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS) dan SPIRIT Indonesia Groningen (SinGA), Universitas Groningen.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA