Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Strategi Menangkal Ekstremisme

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Senin, 19 September 2016, 07:54 WIB
Strategi Menangkal Ekstremisme
SETELAH dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Rabu, 13 Juli 2016 dan menerima kenaikan pangkat satu tingkat menjadi Jenderal Polisi, M Tito Karnavian langsung tancap gas dengan menyodorkan 11 Program Prioritas 100 hari Kaporli.

Selang beberapa hari setelah Kapolri dilantik, tepatnya senin 18 Juli 2016, Satgas Operasi Tinombala dari satuan Batalyon Infanteri (Yonif) 515 berhasil menembak mati Santoso dan secara bertahap melumpuhkan jejaring pelaku teror Poso.

Jika upaya pelumpuhan jejaring aktif teror berhasil, maka tugas yang lebih berat dan kompleks adalah melakukan upaya deradikalisasi yang menjadi program prioritas ke-3 100 hari Kapolri, yaitu Penanganan Kelompok Radikal Prokekerasan dan Intoleransi yang lebih optimal. Upaya deradikalisasi lebih berat karena terkait pemahaman yang mudah menjadi kesalahpahaman dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam sehingga perlu betul-betul hati-hati dan terkendali sehingga kasus seperti Sriyono tak terulang.

Sekalipun secara kuantitatif aksi teror lebih banyak berkaitan separatisme dan left- wing atau right-wing di belahan Eropa dan Amerika namun setelah peristiswa menara kembar New York, perhatian tertuju pada radikalisasi di sebagian kecil faksi Muslim.

Inilah titik mula, Muslim menjadi "terduga" teroris baik di US (Hamm, 2013), UK dan Perancis (Beckford, Joly &amp; Khosrokhavar, 2005) dan Belanda (Veldhuis et al., 2011) sehingga warga Eropa memiliki stereoptype dan percaya terorisme dekat dengan muslim (Cinnirella, 2012). Di Inggris, 58 persen menganggap Islam berasosiasi dengan ektremisme (BBC News, 2010) dan di Belanda menjadi lebih tinggi sekitar 73 persen mengaitkan teror dengan muslim (PVV, 2013).

Beragam studi menunjukkan citra menjadi muslim sangat negatif (Helbing, 2012), tak bisa dipercaya (Sides &amp; Gross, 2013) atau paling moderat simpati terhadap teroris (Condon, 2011). Citra ini diperbesar dan disebarluaskan ke seantero jagat, termasuk Indonesia sehingga menjadikan muslim sebagai terduga yang tentunya berdampak tidak baik bagi upaya deradikalisasi karena menjadi mudah disalahpahami sebagai konfrontasi antara Barat dan Muslim.

Di tengah arus tersebut, peneliti dari University of Cambridge, United Kingdom, Amy Nivette (2016) merilis hasil studinya yang cukup menarik dan mematahkan arus yang terlanjur berkembang dengan tajuk "Predictors of Violent Extremist Attitudes."

Penelitian Nivette menggunakan data the Zurich Project on the Social Development of Children and Youth (z-proso), sebuah survei yang dilaksanakan secara longitudinal dengan melibatkan sampel yang besar, mutli-etnik, multi-agama lebih dari sepertiga beragama Islam dengan kohor sejak anak masuk sekolah dasar sampai usia 17 tahun sebagai masa kritis yang mudah terpengaruh ekstremism di kota Zurich (2004).

Dengan desain survey longitudinal ini memungkinkan untuk menguji ragam kedekatan dan kerenggangan faktor-faktor yang beresiko baik secara sosial, budaya dan psikologis sebagaimana telah diulas di banyak literatur tentang ekstemism. Temuan Nivette menunjukkan bahwa setelah dikontrol dengan faktor sosial economic status (SES), faktor individual dan sosial, tak ada hubungan yang signifikan antara menjadi seorang Muslim dengan ektremisme. Nivette mendedahkan bakwa ektremisme lebih dipengaruhi SES, gender, kemampuan mengendalikan diri, keterputusan moral dan sikap sinis terhadap hukum.

Lebih lanjut, Nivette merangkum bahwa: (1) ekstremism berhubungan dengan gender, dalam hal ini berjenis kelamin laki-laki signifikan dengan ekstremism; (2) Agama seseorang tidak berhubungan dengan ekstremisme setelah dikontrol dengan SES; (3) penyebab ektremism adalah ketidakmampuan mengatasi masalah (poor coping skills), keterputusan moral dan sikap sinis terhadap hukum positif.

Berdasarkan penelitian tersebut, Nivette mengingatkan bahwa menargetkan deradikalisai dengan target kelompok tertentu tak efektif. Lalu menawarkan, solusi untuk deradikalisasi dengan memfokuskan pada pengembangan keterampilan prososial dan menghindari keterisolasian atau ekslusi dari komunitas.

Rekomendasi tersebut dapat dioperasionalisasikan dengan setidaknya enam pendekatan praktis.

Pertama, memperkuat pengasuhan orang tua dan keluarga sebagai komunitas terkecil untuk memastikan remaja tidak terisolasi sehingga setiap perkembangan psikologis dan sosialnya terpantau dan terkoneksi dengan realitas sosial yang inklusif dan toleran.

Kedua, pengembangan moral yang pro-sosial yang mampu memfasilitasi interaksi yang positif antar teman sebaya dan lingkungannya sehingga memiliki daya tangkal yang kokoh untuk memoderasi beragam kecenderungan ektremisme di masa pencarian jati diri.

Ketiga, memberikan pemahaman yang utuh atas hukum positif yang berlaku yang ditujukan untuk melindungi hak-hak warga termasuk remaja sehingga mampu memahami dan merasakan manfaat kehadiran hukum positif. Ketidakpercayaan dan frustasi atas realitas hukum akan melahirkan keinginan untuk mendekonstruksi hukum yang ada dengan pilihan-pilihan yang dianggap menantang dan macho.

Seiring dengan terbukanya akses informasi di berbagai belahan dunia termasuk nestapa sesama seperti penderitaan di tempat bahkan negara lain yang seagama, etnik atau ideologi juga berpotensi dalam menumbuhsuburkan sikap empati yang tidak proporsional dan menjadi kemarahan yang tidak terkontrol.
Keempat, kemampuan untuk tetap berempati namun dengan tetap mengontrol amarah menjadi energi positif sehingga sikap empati tidak meledak-ledak. menjadi kemarahan tak terperi dalam kekecewaan akan ketidakmampuan bertindak.

Terkait hal ini, manajemen dan kontrol penyebaran informasi amarah dan kebencian perlu lebih diperkokoh sehingga tidak mudah menyebar ke dalam jendela informasi kamar remaja yang sedang menyendiri. Inilah pendekatan kelima.

Selanjutnya, keenam, pendidikan di dalam keluarga dan sekolah perlu diarahkan pada pengembangan keterampilan mengontrol diri sehingga krisis identitas, ketidakpuasan dan kekecewaan di usia remaja dapat tepat dikendalikan dan dikontrol serta ditransformasi menjadi energi positif lewat beragam aktivitas teman sebaya dan komunitas.

Berdasarkan operasionalisasi tersebut, secara singkat diperoleh benang merah untuk mengatasi radikalisasi yang banyak terjadi di kalangan kaum muda yang masih penuh gejolak dan rawan diselewengkan pihak-pihak makelar tiket surga, yaitu:  memastikan wajah hukum yang positif dan memberi banyak harapan perbaikan di mana Polri menjadi salah satu garda paling depan dalam mewujudkannya, dan penguatan beragam institusi pendidikan, baik lewat keluarga, sekolah, komunitas dan media massa termasuk jejaring media sosial, di mana Polri perlu memperkuat jejaring dan keterampilan untuk merangkulnya.

Upaya tersebut diharapkan mampu menekan sikap radikal dan ekstrem sebagai upaya preventif dari berkembangnya potensi perilaku intoleran dan kekerasan. [***]

Penulis adalah alumnus Pesantren Rancabogo Garut dan peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA