Pasalnya, Ahok bukanlah pemimpin yang pro rakyat kecil (wong cilik). Dia pemimpin yang menyampingkan hak-hak rakyat dalam proses pembangunan ibukota. Dan hal itu jelas bertentangan dengan eksistensi PDIP yang selalu mengedepankan nilai-nilai pemikiran besar Bung Karno.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Studi Kebangsaan 1998 (Lastika'98) Nuryaman Berry Hariyanto, Selasa (5/9), seperti dikabarkan
RMOL Jakarta.
"Ketika Soekarno mau mencari sebuah lahan untuk membangun kompleks olahraga prestisius di awal kepemimpinannya, Soekarno memilih Senayan. Waktu itu Soekarno benar-benar mewongke, warga diajak berdialog, bermusyawarah mufakat, diajak mengambil keputusan bersama, sebelum digusur mereka ditempatkan dulu di tempat penggantinya. Sampai tempat penggantinya diberi nama yang sama, polanya sangat menghargai kaum marhaen, sementara Ahok kebalikannya," kata Berry.
Dijelaskan Berry, dalam waktu sekitar dua tahun memimpin Jakarta, sudah banyak wilayah yang digusur Ahok. Sementara proses penggusuran tersebut tidak manusiawi karena tak ada penempatan yang sesuai dengan hak-hak rakyat.
"Kasus terakhir di Rawajati, masyarakat yang hajat hidupnya di Jakarta Selatan dipaksa pindah ke Rusun Rawabebek atau Rusun Marunda, Jakarta Selatan dan Utara jauh, kemudian tidak ada sedikitpun uang kerohiman yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," ungkap Berry.
Berry menambahkan, jika tetap PDIP memilih Ahok maka sama saja partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menodai perjuagan Bung Karno. Karena sudah terbukti Ahok tidak menjalankan semangat dan perjuangan Soekarno di Jakarta.
"Cara berkomunikasi politik Ahok juga jauh berbeda dengan yang diajarkan Soekarno. Soekarno tidak pernah mengucapkan kalimat yang menyakiti hari rakyat. Kalau lawan politik sekelas Amerika Serikat, Inggris, baru Soekarno melakukan itu," tukas Berry.
[rus]
BERITA TERKAIT: