Dengan tempat perayaan di Teater Kecil, Taman Izmail Marzuki, Jakarta Pusat, perayaan kali ini menyiratkan para tokoh dan aktifis pergerakan mahasiswa tahun 70-an itu, ingin membawa "Malari" sebagai sebuah gerakan kebudayaan. Sebab TIM sejauh ini identik dengan 'pusat gerakan kebudayaan' atau dimana para aktifis berjuang melalui budaya.
Perubahan zaman, perubahan rezim, nampaknya menyadarkan para aktifis "Malari" bahwa era sekarang ini, tak lagi membutuhkan gerakan mahasiswa seperti gaya empat dekade lalu.
Ada nuansa baru yang tersirat atau mengemuka dari perayaan gerakan mahasiswa Indonesia di tahun 70-an itu.
Tidak ada lagi dimensi untuk mengklaim bahwa gerakan seperti "Malari" merupakan salah satu poros yang memiliki kekuatan penekan. Dan lewat perayaan kali ini, yang lebih mau dicari adalah sebuah rekonsiliasi di antara para tokoh "Malari" itu sendiri. Para tokoh ini sudah semakin bijak, karena rata-rata sudah berusia di atas 60 tahun.
Salah satu bentuk rekonsiliasi itu adalah bertemunya kembali dua tokoh "Malari" (Malapetaka Lima Belas Januari), Hariman Siregar dan Theo L. Sambuaga.
Dua tokoh ini diakui sebagai dedengkot gerakan mahasiswa di tahun 1970-an.
Keduanya dikenal sebagai aktifis mahasiswa yang memiliki kualitas sebagai politisi kampus. Hariman dan Theo merupakan duet mahasiswa Universitas Indonesia yang dianggap mewakili suara se-Indonesia.
Di luar itu Hariman sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dipersepsikan sebagai perwakilan dari HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) sedangkan Theo sebagai Sekjen-nya dianggap mewakili GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia). Kelompok Cipayung dalam arti mini.
Duet HMI-GMNI itu terkesan begitu kompak dan vokal. Mereka menyuarakan sikap kritis mahasiswa terhadap rezim Orde Baru yang ketika itu baru berusia 7 tahun.
Pernyataan-pernyataan mereka tentang rezim Orde Baru menjadi semacam barometer bagaimana mengukur situasi Indonesia secara keseluruhan.
Tidak heran bila media-media non pemerintah seperti "Sinar Harapan" dan "Kompas" hampir setiap hari di penghujung 1973, berlomba mendapatkan kutipan terbaru dari keduanya.
Hingga dengan peristiwa "Malari", Hariman dan Theo masih merupakan duet yang kompak.
Tapi pasca "Malari" mereka terpecah. Hariman dan Theo dipaksa atau terpaksa harus berseberangan.
Hariman berada di kubu luar pemerintah sedangkan Theo masuk dalam lingkaran pemerintah atau kekuasaan.
Masuknya Theo di lingkar kekuasaan berawal dari direkrutnya dia oleh penguasa menjadi salah seorang pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Perekrutan dilakukan ketika Theo dan Hariman sudah keluar dari penjara sebagai tahanan politik.
Melalui ormas pemuda KNPI yang pembentukannya diinisiasi oleh arsitek politik Orde Baru, Ali Murtopo memasukkan Theo sebagai salah seorang pengurus.
Dari KNPI karir politik Theo Sambuaga terus melejit. Apalagi setelah Theo menyunting isterinya sampai sekarang Erna Sukardi. Theo-lah satu-satunya mahasiswa yang pernah dipenjara Orde Baru tapi di rezim ini pula dia dua kali menjadi Menteri.
Erna yang juniornya di Universitas Indonesia merupakan putri Sukardi, jenderal dua bintang TNI AD.
Semasa Pak Sukardi masih aktif sebagai militer, saat itulah Theo Sambuaga menikahi puterinya. Pernikahan ini membawa Theo Sambuaga selaku bekas aktifis pergerakan mahasiswa memiliki akses ke lingkar penguasa yang saat itu didominasi oleh para jenderal baik yang masih aktif maupun sudah pensiun.
Karir politik Theo semakin bersinar setelah dia diangkat sebagai salah satu anggota DPR-RI dan masuk ke dalam Fraksi Karya Pembangunan atau Golkar. Sementara ayah mertuanya Jenderal Sukardi setelah pensiun, bermigrasi dari Fraksi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke Fraksi Karya di DPR-RI.
Ayah mertua Theo, Pak Sukardi kemudian menjadi Ketua Fraksi Karya (Golkar) di DPR-RI.
Berbeda dengan karir politik Hariman Siregar. Dengan dia tidak masuk ke lingkar kekuasaan, otomatis karir politiknya terhambat. Secara politik, Hariman berada di kelompok oposisi. Tetapi karena di era itu hak hidup kelompok oposisi boleh bilang tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia, maka status oposisi Hariman Siregar pun otomatis tak eksis.
Bahkan status Hariman Siregar sebagai pemimpin aktifis pergerakan mahasiswa menjadi "limbung" atau seperti tak punya kelamin.
Pasalnya sejauh ini, Hariman dikenal sebagai tokoh mahasiswa yang berseberangan dengan pemerintah. Tetapi secara diam-diam dia bergandengan tangan dengan anggota pemerintah. Yaitu JE Habibie, Dirjen Perhubungan Laut.
Posisi Habibie (almarhum) yang merupakan adik kandung BJ Habibie (Presiden ke-3 RI) saat itu secara politik serba tanggung. Masih menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi secara politik, kekuasaanya atau pengaruhnya tidak sekuat dengan mertua Theo Sambuaga.
Ada kesan, Hariman ingin juga masuk dalam kekuasaan (Rezim Soeharto), tapi Habibie yang diharapkan bisa membawanya ke wilayah kekuasaan, tidak memiliki pengaruh ataupun kekuatan.
Perbedaan status dan perjalanan karir politik ini menjadi penyebab terjadinya pecah kongsi antara Hariman Siregar dan Theo Sambuaga.
Dampaknya "Malari" tidak bisa dijadikan sebagai sumbu kekuatan perjuangan. Sebab sumbu itu berada di Hariman dan Theo.
Selain kedua figur di atas sudah pecah, tema yang diperjuangkan mahasiswa melalui "Malari", sudah tidak relevan pula.
Sebagaimana tak banyak orang lagi yang mengetahui, latar belakang "Malari" itu bisa diringkas sebagai berikut :
Pada akhir tahun 1973 hingga meletusnya peristiwa "Malari", para mahasiswa terutama dari Universitas Indonesia memprotes kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan Orde Baru yang dijalankan oleh Presiden Soeharto.
Koreksi mahasiswa terhadap rezim Soeharto cukup menjual walaupun terkesan janggal. Sebab hampir semua kebijakan politik dan ekonomi rezim Orde Baru itu sejatinya berasal dari konsep para Guru Besar Universitas Indonesia. Nah mereka, para profesor ini hampir semuanya merupakan dosen di UI atau dosennya Hariman Siregar dan Theo Sambuaga.
Kebijakan politik yang mereka kritisi misalnya hadirnya tiga jenderal sahabat dekat Presiden Soeharto sebagai Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Yaitu Sudjono Humardani, Ali Murtopo dan Tjokropranolo.
Sementara kebijakan ekonomi tertuju pada bidang investasi. Yang paling keras disorot soal Jepang yang saat itu dijuluki sebagai "economic animal" atau binatang ekonomi.
Kebijakan soal Jepang misalnya oleh Hariman dan Theo dinilai sudah terlalu merugikan Indonesia. Sebab Jepang dalam waktu singkat, kurang dari 10 tahun rezim Orde Baru berdiri, sudah mendominasi perekonomian nasional. Jepang mendapat julukan binatang ekonomi, karena kelakuan orang Jepang di Indonesia, sangat kasar. Di lapangan golf, pebisnis Jepang suka memaki para caddy dengan kata-kata kasar. Para caddy tak jarang disebut binatang.
Ketidaksukaan pada Jepang beralasan. Karena luka dan rasa sakit hati yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia - melalui penjajahan selama 3,5 tahun (1942-1945), masih belum sembuh secara batin.
Nomenklatur Asisten Pribadi Presiden akhirnya dibubarkan. Tapi mereduksi dominasi Jepang, itulah yang tidak atau belum bisa dilaksanakan seketika oleh pemerintahan Soeharto. Hal ini kemudian memicu mahasiswa pimpinan Hariman dan Theo mengangkat emosi dan perasaan anti-Jepang, sebagai "tag-line" protes gerakan mahasiswa.
Kebetulan pada bulan Januari itu, PM Jepang, Takeo Fukuda sedang mengadakan tour keliling ASEAN. Dan Jakarta merupakan salah satu kota persinggahannya. Sebelum ke Jakarta, Fukuda mengunjungi Bangkok. Di sana dia mendapat protes keras dari para mahasiswa.
Bak gayung bersambut. Mahasiswa di bawah koordinasi Hariman Siregar dan Theo Sambuaga, juga melakukan hal serupa dengan aksi mahasiswa Thailand.
Tapi kali ini, Jakarta lebih keras. Mereka menghadang tamu pemerintah itu di bandara Halim Perdana Kusumah. Tentu saja para demonstran kalah kuat dengan aparat militer - (bukan polisi), yang waktu itu dikerahkan menghalau demonstran para mahasiswa.
Klimaksnya protes beralih ke wilayah Kota, Jakarta Utara. Yang ketika itu masih menjadi pusat bisnis ibukota.
Jalan dan wilayah sepanjang kawasan Kota, Gajah Mada, Hayam Wuruk dan Jalan Veteran serta Pintu Air, menjadi sasaran para demonstran. Karena pusat bisnis itu, identik dengan pusat ekonomi Jepang di Jakarta.
Para mahasiswa yang tadinya tidak anarki, kemudian ditumpangi oleh demonstran lainnya. Terjadilah pembakaran sejumlah kendaraan: mobil maupun sepeda motor buatan Jepang.
Kendaraan siapapun yang melintas di daerah disebutkan di atas, sepanjang bermerek Jepang, dihentikan dan dibakar.
Tak terkecuali serangan terhadap kantor PT Astra, perushaan yang merupakan penyalur produk kendaraan buatan Jepang. Kebetulan lokasi Astra di seberang Jalan Bina Graha, tempat Presiden Soeharto berkantor.
To make the long story short, Hariman dan Theo ditangkap aparat militer dan dijebloskan ke penjara. Belakangan terungkap peristiwa "Malari" merupakan akibat dari persaingan internal di elit kekuasaan.
Pasca "Malari", di pihak penguasa militer, terjadi perubahan. Jenderal Sumitro, Panglima Komando Operasi Ketertiban dan Keamanan (Pangkopkamtib) diganti.
Pergantian ini menyingkapkan hal yang selama ini tidak diketahui publik.
Terkuaknya pertarungan di internal pemerintahan ini - kemudian berpuncak pada peristiwa "Malari" sedikit banyaknya mengurangi magnitudo dan makna perjuangan Hariman Siregar dan Theo Sambuaga.
Ada semacam kekecewaan di kalangan aktifis mahasiswa. Bahwa ternyata "Malari" bukan sebuah gerakan yang murni dilakukan oleh para tokoh. Melainkan sudah dijadikan kereta tumpangan oleh kelompok-kelompok yang bersaing secara "under ground atau under cover".
Oleh sebab itu sekalipun setiap tahun peristiwa ini diperingati, tetapi peringatan itu tak mampu menggugah banyak pihak.
Dari segi nama, "Malari" menjadi sangat populer sebagai sebuah wadah dimana mahasiswa berhasil menunjukkan eksistensi dan pengaruhnya.
Tetapi dari segi pencapaian, "Malari" tidak ada apa-apanya. Salah satu buktinya dominasi Jepang atas perekonomian Indonesia terus menguat dan membesar.
Bahkan ada yang beranggapan, pihak yang mengalami kerugian besar akibat "Malari" justru rakyat dan pemerintah Indonesia. Sebab semua produk Jepang yang dibakar massa di saat "Malari" semuanya milik warga Indonesia.
[***]