"Sikap Ahok menolak RUU Pilkada yang berisi mekanisme pemilihan lewat DPRD layak diapersiasi. Apalagi Ahok sampai berani memutuskan keluar dari Partai Gerindra. Ini bisa dianggap sebagai bagian dari konsistensi atas sikapnya itu," ujar Ketua Umum Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto Emik dalam perbincangan dengan redaksi sesaat lalu (Minggu, 14/9).
Penolakan Ahok, kata dia, sudah sesuai dengan keinginan mayoritas publik. Hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya, menunjukkan sebanyak 81,25 persen responden menginginkan pilkada tetap dilaksanakan secara langsung, dan hanya 10,71 persen yang menyetujui pilkada lewat DPRD.
Meski begitu Sugianto yang biasa disapa Sgy, menantang Ahok membuktikan konsistensinya dengan tidak sekedar keluar dari Partai Gerindra. Ahok harus merubah tradisi perangkat kota adminsitrasi/kabupaten administrasi di Jakarta dari ditunjuk oleh Gubernur menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat.
Agar tradisi walikota dan bupati Kepulauan Seribu bisa dipilih secara langsung oleh rakyat, maka Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI harus diubah. Karena itu Ahok, menurut Sgy, harus berinsiatif merubah Pasal 19 UU Nomor 29/2007, karena pasal ini menyatakan Walikota/bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
"Kalau Ahok sukses merubah mekanisme penujukan walikota dan bupati di Jakarta oleh Gubernur, maka sangat tidak pantas publik meragukan konsistensi Ahok, dan mundurnya Ahok dari Gerindra tidak bisa dianggap untuk pencitraan semata. Ahok benar-benar konsisten bahwa pemimpin harus dipilih oleh rakyat," demikian Sgy.
[dem]
BERITA TERKAIT: