Memang secara ketatanegaraan, tidak ada alasan Joko Widodo dan pendukungnya untuk bergembira berlebihan walau KPU sudah menetapkan pemenang Pilpres. Masih ada dua tahapan sisa, dua fase pertarungan yaitu pertarungan hukum dan pertarungan politik. Sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) dan pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR pada 20 Oktober 2014.
Kelihatannya, Jokowi sudah "kebelet" untuk menyusun kabinet. Kerja cepatnya itu diwujudkan lewat pendirian Kantor Transisi.
Masalahnya, ada suasana keruh yang mesti dijernihkan lebih dulu oleh Jokowi-JK sebelum melangkah ke tahap itu, karena berkaitan juga dengan dukungan politik terhadap pemerintahannya jika sukses dilantik oleh MPR. Kekisruhan ada di dalam partai pengusungnya sendiri dan yang terbesar di antara semuanya, PDI Perjuangan.
Perang pengaruh dalam penyusunan kabinet terjadi di dalam partai yang sudah 10 tahun puasa berkuasa.
Pertarungan yang kasat mata ada di empat kelompok utama yang merasa berjasa memenangkan Jokowi-JK. Kaum nasionalis-simbolis; kaum bisnis-oportunis; neolib; dan relawan baik yang diorganisir maupun yang tidak diorganisir yang kemudian dibagi dua, relawan politis dan relawan a-politis.
Di PDIP sendiri saat ini tengah terpolarisasi. Sejarahnya terlihat dari sebelum partai banteng hitam resmi menetapkan capres. Kala itu, elite PDIP terbagi dua. Ada yang tetap menginginkan trah Soekarno kembali maju ke pentas politik nasional (Pilpres). Kelompok kedua, lebih realistis memandang kebutuhan akan figur baru yang muda dan segar, tidak harus darah biru, namun secara elektabilitas sangat menguntungkan. Semua itu ada di Jokowi.
Dalam satu waktu, kedua kelompok itu bisa melebur satu dalam kerja politik pemenangan Pilpres setelah Megawati Soekarnoputri secara tegas menyatakan Jokowi sebagai capres. Mega menggunakan kedaulatan penuh yang dimandatkan Kongres Partai.
Kini sudah separuh jalan Jokowi menuju kemenangan yang final setelah KPU menetapkan dirinya bersama JK sebagai pasangan pemenang, walau diwarnai gugatan dari Prabowo-Hatta, polarisasi itu kembali terlihat.
Adagium ternama menyatakan, "kemenangan mempunyai seribu ayah, tetapi kekalahan yatim piatu". Kelompok elite PDIP yang sedari awal mendorong agar Jokowi maju ke Pilpres merasa tak senang ketika orang-orang yang tadinya menghalangi Jokowi maju kini malah tampil paling depan mengklaim kemenangan itu sebagai buah kerja keras mereka.
Bahkan, yang paling tak menyenangkan hati "suporter Jokowi" adalah mereka yang tadinya meremehkan kemampuan bekas Walikota Solo itu malah terdaftar di dalam susunan kabinet yang beredar di media massa dan jejaring sosial relawan Jokowi.
Dari informasi yang dikumpulkan redaksi, ada empat nama elite DPP PDIP yang tadinya dianggap tidak menyokong Jokowi kini "nangkring" di proyeksi kabinet. Kasak kusuk berlangsung. Mereka yang berjuang dari awal menempatkan Jokowi di puncak karir politiknya menanti imbalan yang pantas.
Sebagian dari mereka memang tidak mau membusungkan dada. Tapi mereka tekun menyimak dan menunggu bagaimana kebijaksanaan pimpinan tertinggi partai, dalam hal ini Megawati, dan tentu saja Jokowi-JK, terhadap nasib politik mereka di era kejayaan ini.
[ald]
BERITA TERKAIT: