Demikian disampaikan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte, melalui akun twitternya, @pjvermonte, beberapa saat lalu (Sabtu, 1/2).
Ia mengecualikan hasil pemilu tahun 2004. Saat itu Partai Demokrat hanya punya suara dan kursi dalam jumlah kecil, tapi pemerintahan SBY-JK berhasil baik. Penyebabnya, Golkar "diambil" JK yang juga Wapres setelah pemilu.
"Tapi tahun 2004 itu adalah
exception rather than rule. Karena saat periode keduanya dimulai pada 2009, Presiden SBY disandera," kata Philips. Â
"
Let's say 2004 koalisinya kooperatif. Tahun 2009 'koalisi' tidak disiplin; dan itu
expected karena banyak faktor, diantaranya karena semua tahu SBY tidak akan jadi calon lagi 2014," ujarnya.
Parpol koalisi melihat posisi di kabinet sebagai sumber daya politik dan kemungkinan besar sebagai sumber ekonomi. Maka sepanjang 2009-2014, publik melihat silang sengkarut kepentingan SBY bersama Partai Demokrat dan partai-partai lain dalam kabinet.
"Karena itu bisa dikatakan kombinasi presidensialisme dan multipartai tetap sulit," terangnya.
Masih menurut Philips, sistem presidensial perlu diperkuat dengan beberapa cara, misalnya menyederhanakan jumlah partai dan juga koalisi terbatas. Cara lain yang jarang dibahas dalam sistem kita adalah memberi beberapa hak veto pada presiden terhadap DPR.
"Itu agenda pasca 2014. Civil society, akademisi, parpol harus siap-siap diskusi dan memperbaiki. Masak mau mewarisi sistem katrok ke anak-anak? Malu," tutup Philips.
[ald]
BERITA TERKAIT: