Yang lebih mengkhawatirkan adalah muncul pandangan kolektif yang permisif bahwa kenaikan harga bahan pokok tiap tahun jelang hari besar keagamaan, misalnya Lebaran dan Natal, adalah kewajaran. Kenaikan itu dianggap normal bahkan ketika suplai komoditas tidak alami persoalan.
"Pandangan yang salah ini ada di kalangan pedagang. Jelang lebaran atau natal, inilah saatnya mengeruk uang, keuntungan besar. Sikap masyarakat ini salah, psikologi kolektif yang katakan inilah pesta pora untuk mengeruk keuntungan," terang anggota Komisi VI DPR, Hendrawan Supratikno, kepada
Rakyat Merdeka Online, Kamis (11/7).
Politisi PDI Perjuangan ini memandang, psikologi kolektif yang salah itu bisa terjadi karena kegagalan pemerintah tiap tahunnya mengawal harga-harga. Tidak salah bila ada dugaan bahwa pemerintah dan kartel melakukan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
"Dugaan itu masuk akal karena yang tahu persis informasi ketersediaan barang di pasar pasti pengusaha besar. Mereka yang bertahun-tahun mengeruk untung. Konspirasi atau kongkalikong membuat harga naik, menimbulkan untung berlebih. Inilah pembagian rente antara pemerintah dan kartel," terangnya.
Ada banyak faktor lain yang jadi masalah, seperti infrastruktur angkutan kurang memadai, kegagalan panen, permintaan yang naik, tetapi itu semua terkesan dibiarkan pemerintah. Kadang ada antisipasi yang dilakukan, tapi selalu mendadak dan terlambat.
"Kan masalahnya, kalau semua masalah itu cepat selesai, ya cepat juga selesai proyeknya. Masalah ini dipelihara demi kesinambungan pembagian rente," tegasnya.
Koordinasi berbelit antara lembaga-lembaga pemerintah juga seperti disengaja. Sudah bertahun-tahun DPR meminta peredaran sembako ditangani satu lembaga dengan kewenangan besar dan perizinan impor di bawah satu atap.
"Kalau koordinasi lemah selalu jadi alasan, terus kenapa semua solusi di atas itu tidak dilaksanakan segera? Koordinasi berbelit ini juga dibiarkan agar masalah berlarut-larut," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: