Taqwa berasal dari akar wa-qa-ya berarti menjaga, yakni menjaga diri dari konsekuensi akibat melanggar aturan Allah. Bertakwa kepada Allah adalah selalu sadar bahwa Allah Ada dan selalu mengawasi kita.
Orang yang selalu sadar Allah (bertakwa) akan berupaya untuk melakukan apa saja yang diridhaiNya dan menghindari yang dapat mendatangkan ketaksenanganNya. Dengan kata lain, bertakwa berarti menerapkan akhlak yang baik dan menghindarkan akhlak yang buruk.
Tapi, apakah yang dimaksud dengan akhlak? Akhlak berasal dari kata akhlaq, jamak dari kata khuluq. Kata khuluq memiliki akar yang sama dengan khalq. Keduanya bermakna ciptaan. Tapi, jika khalq sering dikaitkan dengan penciptaan yang terkait dengan penampilan fisik, khuluq terkait dengan yang bersifat ruhani.
Dalam salah satu doanya, Nabi ajarkan: "Ya Allah, seperti telah Kau indahkan ciptaan-fisik (khalq) Ku, indahkan juga ciptaan-ruhani (khuluq) Ku. Di dalam Al Quran Allah berfirman "Sungguh Aku ciptakan manusia (biologis, basyar) dari tanah, maka pabila telah kusempurnakan penciptaan (fisik) Nya, maka kutiupkan ke dlmnya ruhKu, maka hendaklah kalian sujud kepadanya," (QS 38:71-72).
Kembali pada ayat yang dikutip di awal, puasa diwajibkan tak lain sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak pelakunya. Puasa yang hanya pantang makan, minum dan hubungan suami-istri saja tak cukup. "Betapa banyak orang puasa hanya dapatkan lapar dan haus," begitu bunyi hadis. Kenapa? Karena mereka tak memusatkan perhatian pada esensi ibadah puasa, yakni sebagai sarana pembinaan akhlak.
Nabi pernah "memaksa" seseorang berbuka karena puasanya tak mencegahnya sakiti tetangga. Sia-sia juga puasa, katanya, kalau menyakiti pembantu.
Imam Ghazali nyatakan ada tiga tingkat puasa. Pertama, puasa umumnya orang (awam), yakni "hanya" pantang makan, minum, dan hubungan suami isteri. Kedua puasa orang-orang khusus (khawash), yaitu puasa yang disertai menjaga tingkah laku sesuai ajaran agama tentang tingkah-laku (akhlak) yang baik.
Ketiga, puasanya orang terkhusus di antara yang khusus (khawas al-khawas), puasa yang disertai penjagaan gerak-gerik hati. Yakni memastikan hati tidak tergerak untuk berniat buruk dan tidak menyimpan iri, dengki, sombong, dan sebagainya.
Puasa juga bisa dikaitkan dengan prinsip takhalliy (pengosongan), tahalliy (penghiasan), dan tajalliy (bersemayamnya Allah dalam hati). Pengosongan berarti menghindar sejauh mungkin dari akhlak buruk. Penghiasan adalah mengembangkan akhlak baik atau tajalliy yang berarti "meraih" Allah ke dalam hati.
[***]Penulis adalah Presiden Direktur dan Pendiri Mizan
BERITA TERKAIT: