Ribuan spanduk penolakan dipasang dan menyebar di banyak daerah. Bahkan sejumlah anggota parlemen dari PKS muncul di berbagai media untuk memperkuat argumentasi penolakan.
"Apa yang dilakukan PKS adalah hal wajar, dimana setiap parpol punya sikap politiknya sendiri. Namun ekspresi PKS terlihat tidak wajar dengan mencoba untuk tetap menempatkan tiga menterinya pada kabinet," ujar analis politik POINT Indonesia, Karel Susetyo, kepada
Rakyat Merdeka Online, Sabtu (15/6).
Menurut dia, ambiguitas PKS jelas justru menuai sentimen negatif dari publik. Apalagi PKS masih terbelit skandal korupsi kuota impor daging sapi.
"Jangan harap PKS bisa rebound dengan memainkan isu penolakan BBM. Sikap menolak kenaikan BBM tak punya korelasi positif atas meningkatnya potensi elektabilitas dalam pemilu," kata Karel lagi.
"Lihat saja PDIP yang selama menjadi oposisi selalu menolak kenaikan BBM. Raihan suaranya dalam pemilu 2009 tak berkembang. Itu disebabkan pengelolaan isu BBM yang tak mampu menyentuh logika publik, karena seketika publik disiram dana bantuan dari pemerintah," sambung dia.
Kalau PKS mau mendapatkan simpati publik, katanya, maka sebaiknya keluar dari kabinet sebagai konsekuensi logis atas sikap berseberangan mengenai kenaikan BBM. Apabila ini tidak dilakukan, publik menilai PKS tak serius memperjuangkan rakyat dan sekedar tengah memperjuangangkan posisi tawarnya di hadapan SBY.
"Jangankan PKS yang sedang memerankan peran
pseudo oposisi (oposisi palsu), PDIP yang selalu menolak kenaikan BBM saja tidak mampu meraup suara yang signifikan di pemilu lalu. Sebaiknya PKS jangan bermimpi," tandas Karel.
[dem]
BERITA TERKAIT: