"Pemerintah tidak serius benahi pemasukan lewat pajak dan non pajak. Berbagai royalty migas dan pertambangan juga tidak pernah dibeberkankan," ujar anggota Komisi VII DPR, Dewi Aryani kepada
Rakyat Merdeka Online, Jumat (19/4).
Hal ini diungkapkan Dewi Aryani untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau opsi dua harga terkait kebijakan harga BBM yakni Rp 6.500 per liter untuk mobil pribadi dan Rp 4.500 per liter untuk motor dan angkutan umum.
Semestinya jelas Dewi, yang harus dilakukan pemerintah adalah, stop utang, hemat belanja birokrasi, debirokratisasi struktural pemerintahan yang tidak efektif, naikkan pemasukan negara dari pajak dan non pajak dari berbagai sektor termasuk sektor energi.
"Semua itu cukup untuk membiayai negara ini plus memberi hak rakyat berupa subsidi. Berantas korupsi juga jangan tanggung-tanggung," tegas Dewi.
Sambung politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, Jangan sedikit-sedikit rakyat yang jadi korban, rakyat kata dia adalah pemilik APBN, bukan hanya milik pemerintah. Pemerintah seharusnya memposisikan dirinya menjadi pengelola keuangan rakyat bukan penguasa keuangan sehingga bisa seenaknya kepada rakyat.
Masih kata Dewi, kebijakan kenaikan BBM tidak dapat disebut sebagai kebijakan yang memenuhi asas keadilan. Padahal, dalam kebijakan publik, keadilan seharusnnya menjadi preferensi utama, terlebih dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Teori Utilitarian berbicara mengenai memaksimalkan jumlah kebahagian terbesar bagi seluruh masyarakat dengan cara menghambat sifat egois individu dengan legislasi serta kesadaran bahwa manusia hidup dalam satu tubuh sosial.
"Sayangnya, Pemerintah kita tidak melakukan itu. Betapa harus disadari bahwa kebijakan kenaikan BBM tidak lebih hanya akan menganggu kestabilan akan keadilan di Indonesia," ungkap Dewi.
Tambah anak buah Megawati Soekarnoputri ini, rakyat berhak menolak rencana kenaikan BBM, dan sudah seharusnya pemerintah berpikir ulang dan lebih jujur mengenai alasan-alasan jebolnya APBN yang sesungguhnya.
"Ini jelas-jelas bukan karena adanya subsidi untuk rakyat," tandas Dewi.
[rsn]
BERITA TERKAIT: