Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Setara Institute: Persekusi Jamaah Ahmadiyah Di Lombok Timur Langgar Konstitusi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 21 Mei 2018, 09:06 WIB
rmol news logo Setara Institut mengutuk tindak persekusi yang dialami jamaah Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 19-20 Mei 2018.

"Tindakan demikian nyata-nyata merupakan tindakan melawan hukum, melanggar amanat konstitusi, bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, dan merusak kebinnekaan," tegas Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos dalam rilis tertulisnya.  

Menurut dia, aksi persekusi yang dilakukan oleh sekelompok massa dari desa setempat ini didasari sikap kebencian dan intoleransi pada paham keagamaan yang berbeda. Kebencian dan intoleransi yang tumbuh di masyarakat harus ditangani sebagai tantangan dan potensi ancaman keamanan nyata.

"Intoleransi adalah tangga pertama menuju terorisme. Sedangkan terorisme adalah puncak intoleransi," katanya.

Oleh karena itu, jelas Bonar, energi pemberantasan terorisme harus dimulai dari hulu, yakni intoleransi sebagaimana yang terjadi di Lombom Timur ini. Jika dibiarkan, ia khawatir aspirasi politik kebencian dan intoleransi dapat berinkubasi menjadi aksi-aksi terorisme.

Bonar menambahkan, indikasi akan adanya aksi persekusi terhadap warga Ahmadiyah sebenarnya sudah dirasakan oleh warga Ahmadiyah sejak bulan Maret 2018. Bahkan sudah dilaporkan kepada aparat kepolisian dan pemerintah setempat.

Beberapa kali dialog antar warga juga dihadiri oleh aparat Polsek Sakra Timur dan Polres Lombok Timur.

Dalam dialog-dialog tersebut, lanjut Bonar, kelompok warga intoleran menuntut warga Ahmadiyah untuk keluar dari keyakinan mereka dengan ancaman pengusiran jika tuntutan tersebut tidak diindahkan.

Di sisi lain, kata Bonar, Setara  menyesalkan kegagalan aparat kepolisian dalam mengantisipasi dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Desa Greneng tersebut. Kapolri seharusnya memberikan perhatian besar terhadap kinerja aparat keamanan dalam mencegah kekerasan atas nama agama.

Fokus aparat kepolisian atas penanganan terorisme yang dilakukan oleh jaringan teroris nasional dan transnasional tidak boleh mengurangi perhatian aparat untuk melindungi warga minoritas dari rasa takut (fear), tidak aman (insecure) dan terancam (threatened) akibat teror kekerasan mengatasnamakan keyakinan mayoritas.

Justru, kata dia menekankan, pada aksi-aksi sejenis inilah ekstensi kerja pemberantasan terorisme harus dilakukan, meskipun dengan kerangka hukum yang berbeda.

Keamanan jiwa raga dan hak milik seluruh warga Ahmadiya, khususnya di Nusa Tenggara Barat, harus dijamin pemerintah sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah daerah dan pusat juga seyogyanya mengambil tindakan segera untuk melakukan pemulihan (remedies) atas hak-hak korban yang terlanggar dan tercerabut akibat aksi kekerasan tersebut.

"Pengusiran dan pelanggaran berbagai hak dasar Jemaat Ahmadiyah di Mataram satu dekade yang lalu tidak boleh berulang dan menjadi pola tindakan massa dan pemerintah terhadap perbedaan keyakinan, mazhab, dan agama," tegas Bonar.

Selain itu, menurut Bonar, aparat keamanan dan pemerintah setempat harus memastikan kondusivitas sosial dengan mencegah eskalasi ketegangan sosial yang disebabkan oleh perbedaan agama atau berkeyakinan.

"Pembiaran kekerasan seperti yang terjadi atas warga Ahmadiyah di Lombok Timur akan semakin membuka ruang bagi politisasi agama, intoleransi, dan ujaran kebencian untuk kepentingan politik elektoral jelang Pilkadas serentak, Pemilu, dan Pilpres mendatang," tutupnya.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA