"Kita memang tidak bisa lepas dari Amerika dan Australia. Tapi, kalau waktunya marah, kita harus marah. Tindakan penyadapan itu telah melecehkan kita," ujar pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana kepada Rakyat Merdeka Online, beberapa saat tadi (Senin 18/11).
Tindakan penyadapan tersebut, lanjutnya, sama saja dengan menelanjangi Indonesia. Dengan penyadapan itu, informasi rahasia Indonesia, baik soal kebijakan politik, kebijakan ekonomi, sosial, maupun kerja sama dengan negara lain jadi terbuka.
"Ini sangat merugikan. Jurus kita sudah ketahuan mereka. Semua kebijakan kita bisa diantisipasi," jelasnya.
Aksi sadap menyadap, kata Hikmahanto, memang marak di antara negara-negara. Dulu, antara Amerika dan Uni Soviet juga sama-sama melakukan penyadapan. Setelah ketahuan, negara yang menjadi korban langsung marah dan mengusir perwakilan negara penyadap dari negaranya.
"Kita tidak cukup hanya memanggil dubes. Harusnya lebih tegas yang dengan mengusir perwakilan Amerika dan Australia. Tidak perlu ewuh pakewuh, agar Amerika dan Australia tahu kita marah betul dengan penyadapan itu," jelasnya.
Bagaimana dengan hubungan Indonesia dengan Amerika dan Australia ke depan? Kata Hikmahanto, tidak perlu khawatir. Kerja sama masih bisa dilakukan dengan pembicaraan ulang. Yang penting sekarang, ada tindakan tegas, agar Amerika dan Australia tidak terus melecehkan Indonesia.
Hikmahanto juga heran dengan sikap pemerintah yang baru bertindak setelah disebutkan Presiden SBY, Ani Yudhoyono, dan beberapa menteri menjadi korban penyadapan. Padahal, isu penyadapan ini sudah ramai dibicarakan sejak 2011.
"Mengapa ketika muncul nama SBY dan Ibu Ani, pemerintah langsung reaktif. Bukankah Indonesia milik rakyat Indonesia bukan sekedar milik Pak SBY dan Ibu Ani?" herannya.
[dem]
BERITA TERKAIT: