"Tahun 2023 kita jadi tuan rumah Piala Dunia U-17. Tapi dua tahun setelahnya, tahun ini, kita kalah dari Filipina dan cuma menang tipis dari Myanmar di SEA Games 2025. Ini ironis," kata Sarman kepada
RMOL, Sabtu, 13 Desember 2025.
Menurutnya, kekalahan Timnas menunjukkan stagnasi kualitas tim nasional. Dia pun mempertanyakan keberlanjutan karier para pemain Timnas U-17 yang tampil di Piala Dunia 2023. Apalagi, mereka pernah menghadapi tim kuat seperti Argentina.
"Kalau pembinaannya jalan, harusnya saat ini mereka sudah cukup matang untuk bisa mengalahkan peserta dari kawasan ASEAN. Mereka sudah punya pengalaman bertanding di level dunia tapi sekarang ke mana mereka?” ujarnya.
Ia menilai PSSI tidak menjaga proses pembinaan pemain usia muda secara berkelanjutan, terutama dalam transisi menuju level senior. Akibatnya, potensi yang muncul pada kelompok usia junior tidak berkembang optimal.
Sarman membandingkan situasi Indonesia dengan Jepang dan Korea Selatan yang mampu memanfaatkan momentum sebagai tuan rumah Piala Dunia 2002. Kedua negara tersebut, kata dia, berhasil menjadikan ajang tersebut sebagai titik balik kebangkitan sepak bola nasional.
"Sepak bola Jepang dan Korea Selatan melesat setelah menjadi tuan rumah Piala Dunia. Indonesia tidak menunjukkan hal yang sama,” kata Sarman.
Ia juga menyinggung besarnya anggaran negara yang dikeluarkan saat Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 tahun 2023. Namun hingga kini dampak prestasi belum terlihat.
"Uang rakyat yang dikeluarkan tidak kecil tetapi hasilnya tidak ada," ujarnya.
Lebih jauh, Sarman menilai buruknya prestasi sepak bola nasional tak lepas dari pengelolaan yang salah arah. Menurutnya, selama sepak bola Indonesia berada di bawah kendali Erick Thohir, pembinaan lebih diarahkan untuk kepentingan popularitas dan keuntungan segelintir pihak, bukan prestasi jangka panjang.
"Selama Erick Thohir menguasai sepak bola Indonesia, sepak bola hanya dijadikan alat popularitas dan keuntungan kelompok. Bukan pembinaan serius," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: