Duel dua raksasa Eropa itu sudah pasti tidak masuk "daftar harapan" pecinta bola. Kejam, sungguh kejam, dua klub ini mesti saling sikut demi menyegel satu tiket di 16 besar. Laga Si Putih vs Si Biru Langit bakal jadi pertarungan paling membetot perhatian dibandingkan tujuh partai playoff lainnya. Laga itu menambah bobot atas makin "dagdigdug ser-nya" Liga Champions. Iya, kendatipun format baru ini juga berlaku di dua kompetisi Eropa kasta dua (Liga Europa) dan kasta tiga (Liga Konferensi).
Bekas juara Eropa semacam AC Milan, Bayern Munchen, Juventus, Dortmund, PSV serta klub besar seperti PSG, Benfica, Monaco dan Sporting CP juga kepleset di fase liga sehingga mau tidak mau mesti menjalani playoff. Inilah keseruan dan dramatisnya format baru kompetisi Eropa. Siapa pun bisa terpelanting karena setiap laga di fase liga amat menentukan.
Dulu, di fase grup, mungkin klub-klub besar masih bisa santai dan boleh pasang "gigi dua" hingga dua atau tiga laga awal karena setiap klub dalam satu grup bertemu dalam dua leg, kandang dan tandang. Saat ini tak ada lagi "kemewahan" seperti fase grup dalam format lama itu.
City dan Madrid merasakan imbas "tidak enaknya" format baru itu. Dengan format anyar, setiap klub punya jatah delapan laga atau pertandingan, empat kandang dan empat tandang. Dan yang seru, setiap klub cuma satu kali bertemu dengan delapan lawannya itu--bisa main di kandang, bisa pula tandang, tergantung hasil undian.
Hasilnya cukup acak, mengejutkan dan seru buat sebagian gila bola. City contohnya dibekuk Sporting CP, Juventus dan PSG saat bertandang ke markas tiga klub itu dan sialnya tak dapat membalas kekalahan itu karena di lima laga lain harus bertemu lima klub berbeda.
Madrid juga keok kontra Lille, Liverpool dan AC Milan. El Real tak bisa membalas kekalahan tadi karena hanya sekali bertemu tiga klub tadi, sementara dalam lima laga lain berjumpa lima klub berbeda. Jadilah Madrid duduk di peringkat 11 dan City terpojok di ranking 22 di fase liga, sehingga bikin dua raksasa ini perang sebelum waktunya.
Format kiwari ini memberi efek drama yang lebih besar, dan karena makin banyak laga bertajuk "laga besar", otomatis menghasilkan pendapatan berlipat--setidaknya itu mungkin niat dan rencana yang dipegang erat oleh UEFA.
Namun, sedikit tanya wajib dialamatkan kepada Konfederasi Sepak Bola Eropa itu: Bagaimana mungkin 36 klub yang main di fase liga disatukan dalam sebuah papan klasemen tunggal? Padahal seluruh klub tidak saling berjumpa satu sama lain seperti di kompetisi penuh atau setengah kompetisi (fase grup format lama)?
Dalam format kompetisi penuh, jika ada 36 klub peserta, berarti setiap klub akan memainkan 70 laga dalam semusim seturut rumus: (n-1) x 2 dengan n adalah jumlah klub peserta. Ini mustahil diterapkan, karena setiap klub juga terikat dengan liga domestik yang menganut kompetisi penuh. Dan jika kompetisi penuh dipaksakan berlaku di Liga Champions Eropa, mungkin butuh waktu dua tahun untuk kelar. Ini tentu saja tak efektif, bertele-tele dan absurd.
Maka "ketidakadilan" itu diselesaikan dengan kepercayaan kuat kepada format baru. Toh satu klub dengan delapan calon lawannya itu diundi, dan setiap klub berdasarkan kriteria unggulan dan prestasi telah terbagi dalam pot (36 klub terbagi dalam empat pot). Satu lagi: Tak ada pertandingan yang mempertemukan dua klub dari satu konfederasi atau satu negara yang sama di babak liga.
Nasib setiap klub pun diserahkan pada hasil undian komputer. Inilah awal mula berkah (atau petaka?) yang kemudian menghasilkan laga seru Madrid vs City di babak playoff. Dalam satu tarikan nafas layak juga dilempar satu pertanyaan lagi: Mengapa masih perlu playoff untuk menentukan 8 klub lain di luar peringkat 1-8 untuk lolos 16 besar? Mengapa peringkar 1-16 tidak langsung lolos ke 16 besar? Toh seluruh peserta, 36 klub, sama-sama telah memainkan delapan laga sesuai jatah.
***
Sampai sini biarlah sejumlah tanya itu menjadi bahan evaluasi terhadap format setelah musim ini rampung. Toh belum ada klub yang protes atas penerapan format baru ini. Jadi, sudahi dulu soal format dan hal-hal yang menerbitkan manfaat (sekaligus mudharat) ini. Mari menatap duel City dan Madrid. Laga playoff ini akan menyedot perhatian paling besar gilbol di dunia yang kian panas dan tidak datar-datar ini (baca: sejahtera).
Dua klub memang raksasa Eropa, sama-sama punya kemampuan finansial berlimpah dan suka menghimpun pemain terbaik dunia. Madrid saja masih butuh Kylian Mbappe untuk meneruskan superioritasnya di Spanyol dan Eropa walaupun sudah menancapkan dominasi. City tidak belanja besar di awal musim, tapi setelah badai cidera dan hasil minor di Liga Premier Inggris dan Liga Champions, klub asuhan Pep Guardiola ini membuang duit lebih dari tiga triliun rupiah untuk membeli pemain di musim dingin. Tiga pemain baru itu boleh didaftarkan untuk lanjutan Liga Champions.
Dalam empat musim terakhir, City dan Madrid dua kali masuk final. Madrid begitu hegemonik, juara 2021/2022 dan 2023/2024. Total Madrid mengemas 15 trofi Champions sejak 1956. Sedang City, dari dua kali final, menjemput mimpi juara Liga Champions di musim 2022/2023. Adapun di musim 2020/2021, City keok dari Chelsea di final.
Duel City vs Madrid kian bikin gregetan, sebab dalam tiga musim terakhir mereka ditakdirkan bertemu. Pelatih yang menukangi dua klub itu juga tetap: Carlo Ancelotti dan Josep Guardiola. Skor Ancelotti vs Guardiola, 2-1. Dan betapa serunya perseteruan mereka, Madrid juara setelah melewati City. Begitu juga dengan City, bisa kampiun Champions setelah menyikat Madrid.
Saat ini Madrid dan City tidak superior jika menengok hasil di fase liga UCL. City bahkan terseok-seok di liga domestik. City tak lagi ditakuti oleh klub-klub Liga Premier Inggris. Terakhir, Arsenal menggunduli City, 5-1. Sebuah hasil palibg buruk yang kian mencoreng reputasi Pep sebagai pelatih kelas wahid dan juara, seorang pelatih yang mengantar City juara Liga Premier Inggris empat musim beruntun. Hampir dipastikan Pep masih cemas dengan situasi di kamar ganti klub yang dibilang "tetangga berisik" oleh Manchester United di masa Alex Ferguson.
Namun, duel Madrid vs City, selalu menjanjikan kejutan--mempertebal satu teori klasik dalam sepak bola: Hasil pertemuan kedua tim itu acak karena bola bundar. Bahkan City di bawah Pep pernah melibas Madrid saat ditukangi Zinedine Zidane (pemilik rekor pelatih juara Liga Champions tiga kali beruntun) di musim 2019/2020 lho. Namun, rekor duel dengan Ancelotti, Pep tidak superior (1-2). Musim lalu, City menangis di Etihad Stadium setelah dipecundangi Madrid via adu penalti. Madrid pun ke final dan kembali jawara setelah membonsai Borussia Dortmund, 2-0.
Apakah saat ini Madrid sedang superior dan layak diunggulkan ketika bertemu City?
Masih agak-agak superior, meskipun tidak begitu superior. Ancelotti juga puyeng setelah dua bek tengah mereka, Antonio Rudiger dan David Alaba, dililit cidera. Dua pemain ini penting dan punya mental juara Champions--sebelum menjadi skuad "Galacticos" pun Rudiger sudah mencium trofi Champions bareng Chelsea dan Alaba menimbang Si Kuping Besar dua kali bersama Munchen. Tanpa dua pemain ini, kinerja pertahanan Madrid pasti tidak senyaman jika mereka merumput.
Tapi ini Madrid. Ancelotti bukan pelatih kemarin sore. Don Carlo telah mengoleksi tiga trofi Champions dalam dua periode melatih Madrid. Bekas gelandang AC Milan ini juga telah mengantongi dua trofi Champions saat melatih Rossoneri. Total dia mengoleksi lima trofi Champions. Pep saja yang namanya terbang ke langit ke tujuh tatkala mengembuskan tiki-taka dalam permainan Barcelona tahun 2008, baru menyabet tiga trofi Champions (2 Barca, 1 City).
Don Carlo sering punya jawaban atas masalah timnya, terlebih untuk urusan pertahanan. Orang Italia identik dengan ide bertahan yang liat. Sistem bertahan ala pintu grendel, catenaccio contohnya, ada di kepala Ancelotti meskipun belum tentu ia adaptasi.
Saya kira superioritas adalah hal nisbi atau relatif dalam duel City vs Madrid. Hasil yang acak, mengejutkan, dan sering kali cuma ditentukan oleh dewi fortuna, bakal menghantui perang taktik dua pelatih jenius itu. Terlebih City, saya lihat juga punya lubang menganga di kanan pertahanan setelah Kyle Walker minggat ke AC Milan. Pep yang belakangan bereksperimen dengan pola 2-3-5 saat menyerang, ketar-ketir dengan Matheus Nunes yang diplot sebagai bek kanan. Bahkan saat membantu serangan dengan menyisir sayap kanan pun, Nunes sering ragu dan tidak optimal. Sampai leg pertama di Etihad Stadium, Pep mesti mengutak-atik siapa yang lebih pas menempati posisi ini.
Sungguh tidak gampang menerka siapa yang akan menang dan lolos ke 16 besar dalam duel dua leg itu (12 Februari dan 20 Februari 2025). Tapi saya ingin menaruh satu sikap dasar di sini: City mungkin diharapkan menyingkirkan Madrid agar dominasi Si Putih (15 kali juara) tidak makin merajalela di bumi Eropa.
Seperti panggung politik, dominasi itu berbahaya. Sepak bola mesti dibebaskan dari hegemoni, meskipun Madrid punya segalanya, termasuk Mbappe yang dapat menjadi salah satu elemen yang merusak skenario permainan City. Tapi ini bola, kadang derajatnya cuma satu inchi dibandingkan hidup yang bertabur misteri.
Penulis adalah pecinta sepak bola, mantan Redaktur Pelaksana Rakyat Merdeka Online (2006)
BERITA TERKAIT: