Menariknya, dua kepala daerah memilih pendekatan yang sangat berbeda dalam menyikapi persoalan ini, yakni Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung.
Dedi Mulyadi mengambil langkah tegas dan tidak biasa. Ia menginisiasi program pengiriman anak-anak yang dianggap "nakal" ke barak militer untuk menjalani pendidikan karakter, disiplin, serta pelatihan mental dan fisik.
"Namanya kebijakan pasti ada pro dan kontra," kata Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno seperti dikutip redaksi melalui kanal YouTube miliknya, Kamis 15 Mei 2025.
Berbeda dengan Dedi, Pramono Anung memilih pendekatan yang lebih lembut dan humanis. Dalam menghadapi tawuran di kawasan Manggarai, misalnya, Pramono mengusung program “Manggarai Bersholawat”.
Menurut Adi Prayitno, pendekatan spiritual dan kultural bisa menyentuh sisi emosional dan batin anak muda, sehingga potensi kekerasan bisa diredam dari akarnya.
Analis politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu menilai persoalan kenakalan remaja tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu pihak.
“Kalau remaja suka tawuran tentu bonus demografi yang kita bayangkan akan terjadi di 2045 hanyalah sebatas pepesan," tegasnya.
Adi menyimpulkan, yang terpenting hari ini adalah kesadaran semua pihak bahwa menyelamatkan anak muda berarti menyelamatkan masa depan bangsa.
"Tentu setiap gubernur punya selera untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masing-masing. Mau ditempatkan di barak atau pendekatan sholawat tentu ada plus minusnya," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: