Tentunya, kehilangan status kawasan lindung Karst Citatah membuat masyarakat, mahasiswa, dan para pecinta alam merasakan kekhawatiran mendalam. Sebab, tidak menutup kemungkinan, kawasan tersebut lebih leluasa untuk dieksploitasi sehingga mengalami kerusakan yang lebih parah.
Ketua Pengurus Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PW SEMMI) Jawa Barat, Septian Insan Wibawa menyoroti perubahan Perda tersebut berpotensi sebagai ajang kepentingan korporasi melalui bentuk manipulasi sistem tata ruang yang sarat kepentingan.
"Kami melihat adanya indikasi kuat bahwa penghilangan status lindung Karst Citatah merupakan bentuk regulatory capture, di mana kebijakan publik justru dibentuk untuk melayani kepentingan korporasi, bukan masyarakat," kata Septian, dikutip
RMOLJabar, Minggu, 20 April 2025.
Diketahui, salah satu kasus yang menjadi perhatian serius yakni, aktivitas PT Bumi Adya Indonesia di Kecamatan Cipatat. Perusahaan ini diketahui beroperasi di wilayah yang sebelumnya masuk dalam kawasan lindung geologi versi Perda RTRW Nomor 2/2012.
Nahasnya, setelah terbitnya Perda RTRW Nomor 2/2024, kawasan tersebut tidak lagi berstatus kawasan lindung secara eksplisit, kekhawatiran terbukanya celah legalisasi aktivitas industri dan wisata berbasis eksploitasi.
Dibeberkan Septian, PT Bumi Adya Indonesia tercatat pernah dijatuhi sanksi administratif oleh Pemerintahan Daerah (Pemda) KBB melalui Keputusan Bupati Nomor 188.45/Kep.262-DPUTR/2022.
Keputusan tersebut menyatakan, perusahaan tersebut melanggar izin bangunan yang tidak sesuai peruntukannya, melanggar Pasal 195 PP No. 21 Tahun 202 dengan nilai sanksi mencapai Rp2,5 miliar. Akan tetapi bukan berupa denda ke kas daerah, melainkan dalam bentuk rehabilitasi infrastruktur publik seperti kantor kecamatan, puskesmas, posyandu, dan jalan kabupaten.
"Model sanksi seperti ini rawan disalahartikan sebagai bentuk kompromi terhadap pelanggaran tata ruang dan lingkungan. Ini bukan penegakan hukum, tapi kompensasi eksploitatif yang justru mengaburkan batas antara pelanggaran dan legalisasi," ungkapnya.
Model sanksi demikian, dia menjelaskan, tidak hanya cacat etis tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Perubahan status kawasan lindung dalam RTRW, jika terbukti bertujuan memberi ruang legal bagi PT Bumi Adya Indonesia tentunya menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang.
Maka dari itu, lanjut dia, hal ini dapat melanggar Pasal 3 dan Pasal 5 UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta membuka peluang penerapan pasal pidana dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kami mendesak agar dilakukan pengusutan menyeluruh terhadap proses penyusunan Perda RTRW 2024. Harus diungkap apakah perubahan ini memang disengaja untuk mengakomodir kepentingan korporasi tertentu," terangnya.
Sebagai respons atas situasi ini, PW SEMMI Jabar mengeluarkan lima rekomendasi strategis:
1. Mendesak Direktorat GAKKUM KLHK untuk melakukan penyelidikan awal terhadap seluruh dokumen penyusunan Perda RTRW 2024, termasuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan berita acara konsultasi publik.
2. Meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban Bupati serta DPRD Kabupaten Bandung Barat atas hilangnya status lindung Karst Citatah dalam dokumen resmi RTRW.
3. Mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk menerbitkan rekomendasi evaluasi substansi perda dan melakukan koreksi regulasi melalui mekanisme administratif.
4. Menuntut penghentian sementara seluruh izin pemanfaatan ruang di Kecamatan Cipatat hingga status kawasan lindung diklarifikasi kembali.
5. Mendorong pembentukan forum pemantauan tata ruang berbasis masyarakat, guna meningkatkan partisipasi publik dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Septian menyatakan, kasus kawasan Karst Citatah menjadi ujian serius sekaligus komitmen Pemkab Bandung Barat dalam menjaga integritas tata ruang dan kelestarian lingkungan. Maka dari itu, perlu langkah nyata penegakan hukum secara transparansi dalam proses perencanaan ruang demi melindungi warisan alam yang tak ternilai.
"Kita tidak bisa membiarkan ruang publik dikorbankan demi keuntungan private. Ini bukan hanya soal tata ruang, tetapi soal keberlanjutan dan keadilan bagi generasi yang akan datang," tandasnya.
BERITA TERKAIT: