Di bagian depan gedung, menghadap Jalan AP Pettarani dipasang papan pengumuman berukuran besar dengan logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dan Provinsi Sulawesi Selatan yang bertuliskan, “Tanah Negara, di bawah penguasaan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan sertifikat dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Nomor 350/PDT.G/2017/PN.MKS tanggal 02 November 2017.â€
Diikuti penegasan di bagian bawah yang bertuliskan, "Dalam pengawasan Tim Satgas Kordinas Pencegahan KPK RI. Melakukan kegiatan apapun di lokasi ini tanpa izin dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan diancam kururngan penjara sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).â€
Kawat duri juga dipasang mengelilingi gedung yang biasanya digunakan komunitas wartawan anggota PWI Sulsel untuk beraktivitas.
Jumat pagi kemarin (10/6), Pengurus PWI Pusat menggelar pertemuan dengan Pengurus PWI Sulsel di Kantor PWI di Jalan Kebon Siri, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan, Pengurus PWI Sulsel memberikan laporan mengenai insiden penyegelan tersebut.
Rapat dipimpin Ketua PWI Pusat Atal Depari, didampingi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang, dan Ketua Dewan Panasehat Fachry Mohammad.
Hadir Pengurus PWI Pusat lainnya, DR Suprapto, Raja Pane, Mirza Suhadi, Abdul Azis, dan Zulkifli Gani Otto. Adapun Pengurus PWI Sulsel dipimpin sang ketua, Agus Alwi Hamu, didampingi beberapa pengurus PWI Sulsel lainnya.
Dalam pertemuan Agus Alwi Hamu menjelaskan duduk perkara penyegelan kantor PWI Sulsel dan upayanya untuk membuka dialog dengan Gubernur serta pihak DPRD Sulsel, setelah itu. Namun, sejauh ini belum membuahkan hasil.
Berdasar SK Gubernur tahun 1997
Kantor PWI Sulsel memiliki riwayat panjang. Kantor itu dibangun khusus oleh Pemprov untuk ditempati PWI Sulsel. Gedung berdiri di atas lahan milik Pemprov. Bangunan dan lahan merupakan hasil Ruislag (tukar menukar) dengan gedung kantor Pemprov Sulsel di Jalan Penghibur No. 1, Makassar, yang ditempati PWI Sulsel sejak 1968.
Dasar hukum kantor PWI Sulsel sekarang adalah SK Gubernur 371/1997 yang ditandatangani Gubernur Sulsel Zainal Basri Palaguna, yang memberikan hak pemanfaatannya kepada PWI Sulsel dengan status pinjam pakai. Gedung Kantor PWI itulah yang kini disegel Satpol PP Pemprov dengan alasan yang belum begitu jelas.
Setelah mendengar duduk permasalahan dari Agus Alwi Hamu dan kawan-kawan, masukan, saran-saran dari pengurus PWI Pusat, serta diskusi yang berkembang dalam rapat, Ketua PWI Pusat Atal Depari akhirnya memutuskan Pengurus PWI Pusat mengambil alih permasalahan kantor PWI Sulsel tersebut.
"Kami masih menganggap yang terjadi hanya kesalahpahaman. Mudah-mudahan begitu. Karena itu PWI Pusat yang akan membuka dialog kepada semua pihak yang terkait dengan kepemilikan aset daerah itu di Pusat maupun di daerah. Pengurus PWI Sulsel boleh membantu upaya penyelesaian namun komando berada di tangan PWI Pusat. PWI Sulsel hanya melaksanakan kebijakan pusat," tegas Atal Depari.
Tidak Perlu Bereaksi Berlebihan
Atal menyayangkan penyegelan Kantor PWI Sulsel tersebut. Namun, ia berpesan agar watawan dan pengurus PWI Sulsel tidak perlu bereaksi berlebihan. Jauh lebih baik mengutamakan dialog dengan berbagai pihak.
"Kalau mau dibilang sakit, tentu sayalah yang paling sakit. Saya pemimpin organisasi ini di tingkat pusat. Semua aset PWI di mana pun di wilayah Indonesia adalah tanggung jawab saya. Saya sakit, sedih, tapi sudahlah. Tidak usah bereaksi berlebihan. PWI Pusat akan mengupayakan segel kantor segera dibuka supaya bisa digunakan kawan-kawan wartawan beraktifitas seperti semula. Mengenai adanya masalah yang terkait kalau ada, akan diselesaikan secara terpisah,†ujarnya lagi.
SK Gubernur 371/1997 yang memberikan hak kepada PWI Sulsel untuk memanfaatkan gedung milik Pemprov di Jalan AP Pettarani 31, Makassar, hingga sekarang masih berlaku. Itu dasar hukum yang menjadi pijakan PWI Pusat turun tangan mengambil alih masalah tersebut.
PWI Pusat berencana mengajukan kepada Pemprov Sulsel cq Kemendagri agar segel segera dibuka dan "trigger" atau pokok masalah yang ada diselesaikan secara terpisah.
Apabila masalahnya terkait dengan penyewaan beberapa ruangan kepada pihak ketiga, maka itu menjadi kewajiban pengurus PWI Sulsel menyetorkan hasil penyewaan ke kas daerah/negara.
Di dalam rapat juga disinggung beberapa versi kerugian negara menurut temuan BPK. Entah mana jumlah yang benar klaimnya, tapi nanti setelah diverifikasi oleh para pihak berapa pun nilainya itulah yang disetorkan ke kas daerah/negara.
Rapat juga menegaskan, meskipun namanya Kantor PWI Sulsel dan berlokasi di Makassar, namun secara historis dan organisatoris gedung itu milik wartawan anggota PWI seluruh Indonesia.
Tidak boleh lantaran keteledoran pengurus PWI Sulsel atau entah satu dua oknum pengurus (tidak minta izin dan menyetorkan hasii penyewaan beberapa ruangan tanpa izin) kantor PWI yang menjadi korban dan seluruh wartawan anggota PWI merasakan kerugian.
Rapat juga mencatat bahwa peristiwa ini bagi PWI Pusat sangat memperihatinkan karena baru pertama kali terjadi dalam sejarah PWI yang berdiri sejak 9 Februari 1946.
Rapat pun menegaskan bahwa Gedung PWI Sulsel yang disegel atau dikorbankan itu adalah "warisan" tokoh-tokoh pers Sulsel yang pernah memperjuangkan keberadaan kantor tersebut.
BERITA TERKAIT: