Demikian disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Hukum Kontrak Pengadaan Indonesia (DPP PERKAHPI), Sabela Gayo dalam Konfrensi Nasional Ahli Hukum Kontrak Indonesia yang diselenggarakan secara webinar, Sabtu (4/7). Konferensi pada tahun 2020 ini mengambil tema "Kontrak Barang/Jasa Pemerintah: Perdata atau Tindak Pidana Korupsi Pengadaan".
Sabela menuturkan tujuan dari kegiatan, memberikan solusi kepada pengambil kebijakan terkait dengan permasalahan hukum kontrak umum (commercial contract) dan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah (government procurement contract) di Indonesia. Dalam kofrensi ini, sambung Sabela, para ahli hukum kontrak Indonesia masih sangat prihatin atas kondisi hukum kontrak nasional yang sampai hari ini belum memiliki UU khusus tentang kontrak umum dan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah.
"Kondisi ini menimbulkan berbagai permasalahan hukum di lapangan mulai dari ketidakpastian pelaksanaan kontrak itu sendiri sampai dengan mekanisme penyelesaian sengketa kontraknya," jelasnya.
Bahkan, kata Sabela, khusus untuk kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, sering dijumpai permasalahan menjadi objek perkara tindak pidana korupsi. Padahal, setelah para pihak (pejabat pembuat komitmen dan penyedia barang/jasa) melakukan tandatangan kontrak, maka yang berlaku adalah aturan hukum kontrak bagi para pihak.
"Apabila di kemudian hari muncul berbagai permasalahan hukum diakibatkan oleh kontrak tersebut maka seharusnya dicari terlebih dahulu mekanisme dan prosedur penyelesaian permasalahan hukum kontrak tersebut di dalam klausul-klausul kontrak yang sudah disepakati dan ditandatangani oleh para pihak," papar Sabela.
Dia menuturkan, jika mekanisme penyelesaian permasalahan tersebut sudah diatur dengan tegas dan jelas di dalam dokumen kontrak, wajib diprioritaskan terlebih dahulu mekanisme penyelesaian yang ada di dalam dokumen kontrak.
"Tidak serta merta ketika muncul pengaduan dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan maka para pihak langsung memproses tanda dilihat terlebih dahulu mekanisme penyelesaian Kontrak yang sudah diatur, disepakati dan ditandatangani oleh para pihak berdasarkan asas iktikad baik," sambung Sabela.
Konferensi Nasional Ahli Hukum Kontrak Indonesia ini semula akan diselenggarakan pada tanggal 3-4 April 2020 di Jakarta. Namun karena adanya wabah pandemik Covid-19, maka panitia mengundurkan jadwal pelaksanaannya menjadi tanggal 3-4 Juli 2020. Peserta Konferensi tahun ini berjumlah 150 orang peserta yang terdiri dari 120 orang ahli Hhukum kontrak/ahli hukum kontrak pengadaan, dan sisanya 30 orang lagi berasal dari kementerian/lembaga/organisasi swasta lainnya.
Sejumlah pihak yang menjadi narasumber berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kementerian Dalam Negeri, Keumseong Law Firm dari Korea Selatan, dan dari DPP PERKAHPI sendiri.
Dalam konfrensi, para ahli hukum kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah yang diselenggarakan pada masa pandemik Covid-19 teleh merumuskan sejumlah rekomendasi. Pertama, perlunya UU khusus tentang kontrak umum dan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah.
Dalam jangka pendek, DPP PERKAHPI mendorong para pemangku kepentingan menyusun peraturan pelaksanaan UU 2/2020 terkait dengan penetapan Perppu 1/2020.
"Para stakeholder bersama para penegak hukum (KPK), LKPP, dan lembaga auditor negara menyusun kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah dalam masa pandemik Covid-19 agar bisa mencegah terjadinya tindak pidana korupsi," jelas Sabela.
Pemangkasan anggaran di sejumlah kementerian/lembaga/badan pemerintahan di masa pandemik ini telah menyebabkan terhambatnya pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah. Sabela mengingatkan pemotongan atau pemangkasan anggaran itu bukan berarti kotran pengadaan itu menjadi hilang, tapi anggaran itu dialihkan ke program lainnya seperti penanganan Covid-19, batuan sosial, bantuan langsung tunai (BLT), insentif fiskal dan kepabeanan, dan program UMKM.
Ke depan, Sabela berharap DPP PERKAHPI bisa menjadi pendamping pelaksanaan paket barang dan jasa pemerintah harus mengalokasikan anggaran bagi tim ahli hukum kontrak pengadaan barang/jasa.
"Dalam Peppres 16/2018 tentang ketentuan penggunaan anggaran atau pejabat pembuat komitmen ketentuan ini sudah diatur bahwa PPK itu boleh menetapkan tim ahli atau pendukung. Tapi persoalannya paket pengadaan barang/jasa disahkan oleh pemerintah daerah dan DPRD atau tingkat pusat antara DPR dan Presiden, PPK tak dilibatkan dalam kontrak tersebut," tutupnya.