Calon presiden nomor urut 02 itu bahkan memprediksi air di Tanjung Priok sampai ke Bundaran Hotel Bundaran Indonesia, tujuh tahun lagi, lebih cepat dibandingkan kota metropolitan lainnya di dunia.
Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata memandang respon pemerintah maupun kandidat presiden terhadap prakiraan bencana banjir tersebut dalam satu suara, mempromosikan proyek infrastruktur bertajuk National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) alias Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) yang saat ini berganti nama menjadi Tanggul Laut.
Menurut Marthin, Proyek Tanggul Laut di Teluk Jakarta menjadi salah satu proyek strategis nasional yang telah dipaksakan sejak era pemerintahan SBY melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
"Proyek tanggul laut ini adalah solusi yang salah untuk menghentikan tenggelamnya Jakarta," ujarnya, di Jakarta,.
Sebaliknya, menurut dia, pemerintah akan membuat masalah baru yaitu tergusurnya rumah hingga sumber kehidupan nelayan tradisional di Teluk Jakarta.
"Reklamasi Teluk Jakarta sepatutnya menjadi bahan belajar bagi pemerintah karena telah secara nyata menggusur 579 keluarga nelayan," ujarnya.
Sedangkan tanggul laut, sebagai megaproyek infrastruktur yang akan dibangun sepanjang 37-40 kilometer membentang dari Bekasi hingga Tangerang, dapat dipastikan akan menyebabkan lebih banyak lagi nelayan yang tergusur dan kehilangan mata pencahariannya dari laut. Sedikitnya 16.855 keluarga nelayan bakal terusir bila tanggul laut dibangun.
Sampai saat ini juga, pemerintah tidak memiliki perencanaan apapun mengenai nasib nelayan, kecuali penggusuran dan relokasi.
Perencanaan proyek tanggul laut awalnya sebagai bantuan dari Kerajaan Belanda, namun berganti menjadi sarana untuk memfasilitasi perdagangan jasa korporasi multinasional asal Belanda untuk mendapatkan keuntungan dari jasa perencanaan, konstruksi, pengerukan hingga reklamasi.
Perubahan paradigma ini dikenal dengan istilah "shifting from aid to trade" yang menjadi polemik di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sebagai prioritas perubahan paradigma tersebut.
"Perubahan paradigma tersebut, dengan dasar alasan yang menyatakan Indonesia telah menjadi ekonomi pendapatan ekonomi menengah atau
middle income country," ujar Marthin.
[wid]
BERITA TERKAIT: