Pilot Batik Air, Kapten Ricosetta Mafella merupakan orang yang sangat berterima kasih atas jasa Anthonius Gunawan Agung. Dari tulisan yang didapat redaksi dari berbagai WhatsApp Group (WAG), diceritakan Kapten Mafella mengunjungi gereja dan memberikan kesaksian alasannya mempercepat penerbangan tiga menit dari jadwal yang ditentukan.
"Beliau cerita bahwa sepanjang hari. Hatinya merasakan kegelisahan yang dia sendiri tidak tahu kenapa. Untuk mengusir rasa kegundahan hatinya sepanjang perjalanan dari Ujung Pandang ke Palu, ia menyanyi lagu-lagu rohani dengan nada keras," ujar penulis tersebut.
"Biasanya saya hanya bersenandung saja, tapi hari itu saya ingin memuji Tuhan sebaik-baiknya," kata Kapten Mafella. Sampai Co-Pilotnya yang muslim menyarankan sambil bercanda supaya dia membuat CD lagu rohani.
Kepada penulis yang belum diketahui identitasnya itu, Kapten Mafella bercerita saat pesawat yang dikemudikannya itu hendak mendarat di Bandara Palu. Saat itu, katanya, udara terlihat cerah. Namun, angin bertiup terlalu kencang.
"Ia mendengar suara dalam hatinya untuk memutar sekali di udara sebelum landing," kata penulis itu.
Letak bandara Palu yang diapit dua pegunungan mengingatkan Kapten Mafella dengan ayat
Mazmur 23:4 di dalam kitab Injil.
"
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku: gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku," demikian ayat tersebut berbunyi.
Menurut sang kapten, bandara yang diapit pegunungan bagi seorang pilot disebut lembah kematian. Karena mereka harus ekstra hati-hati ketika landing dan ayat
Mazmur 23:4 -- sebutan Mazmur Dji Sam Soe adalah pegangan para pilot yang Kristiani.
"Sesaat setelah pesawat sukses landing, ia mendengar suara dihatinya untuk lekas pergi dari bandara itu. Oleh karena itu dia menginstruksikan crew-nya agar beristirahat 20 menit saja sebelum pesawat kembali pulang ke Jakarta via Ujung Pandang," kata penulis itu menceritakan Kapten Mafella.
Bahkan, lanjut penulis itu, sang kapten tidak turun dari cockpit pesawat dan meminta izin kepada menara kontrol untuk mempercepat lepas landas 3 menit dari jadwal yang sudah ditentukan.
"Setelah ia mendapatkan izin take off dari Almarhum Agung, mereka bersiap lepas landas," ujarnya.
Kapten Mafella mengakui, saat itu ia melanggar prosedur penerbangan karena ia mengambil alih tugas Co-Pilot dengan menambah kecepatan pesawat saat prosesi take off. Dia sendiri tidak tahu kenapa tapi tangannya terus memegang tuas agar kecepatan lebih besar supaya badan pesawat lebih cepat merangkak naik.
"Saat itu dia tidak tahu kalau gempa sudah melanda Palu tapi dia merasa pesawat sedikit oleng ke kiri dan kanan. Menurutnya kalau saja dia terlambat 3 menit, maka dia tidak bs menyelamatkan 140 penumpang karena aspal pacuan landas bandara bergelombang seperti kain ditiup angin," tutur penulis itu.
Beberapa menit selepas take off, dia mencoba menghubungi pihak menara namun sudah tidak dijawab lagi oleh Agung.
"Dia menengok ke bawah dan melihat fenomena alam yang aneh. Air laut di pinggir pantai membentuk lubang yang sangat besar sehingga dasar laut terlihat," tulisnya.
Ketika pesawat tiba di Ujung Pandang, barulah mereka diberitahu bahwa telah terjadi gempa dan tsunami di Palu dan pegawai menara kontrol yang memandu pesawatnya take off telah gugur sesaat setelah memastikan pesawatnya lepas landas.
"Tadi siang sebelum ia bertolak terbang ke KL, Kapten Mafella menegaskan pentingnya kita harus peka mendengar suara Tuhan. Dan dalam situasi apapun harus tetap tenang jangan panik supaya bisa jelas mendengar suara Tuhan yang disampaikan melalui Roh Kudus karena dia menambahkan bahwa ketika ia mengambil alih tugas co-pilot untuk menambah kecepatan, sang co-pilot terlihat ketakutan melihat badan pesawat oleng ke kiri dan ke kanan," kisahnya lagi.
Menurut penulis itu, kesaksian Kapten Ricosetta Mafella dibagikannya agar dapat dipetik pesan moral dan mendapatkan berkat.
[lov]