Pengamat pangan Hizkia Respatiadi menjelaskan, idealnya CBP bisa membantu menstabilkan harga beras yang fluktuatif di pasar. Tanpa ada data akurat, kebijakan beras yang diambil pemerintah juga tidak akan efektif untuk menstabilkan harga.
Idealnya CBP juga harus didukung sistem pencatatan data yang akurat, yang mana sejauh ini selalu menjadi persoalan. CBP seharusnya terintegrasi dengan komitmen Indonesia pada ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserves (APTERR), di mana cadangan beras jangan hanya difokuskan pada masing-masing negara melainkan difokuskan pada sistem kawasan Asia Tenggara.
"Permasalahan beras di Indonesia seharusnya bisa dilihat sangat jelas dari harganya. Harga beras adalah cerminan supply dan demand di pasar. Dengan melihat pergerakan harga seharusnya keputusan untuk mendistribusikan beras CBP dan mengimpor bisa dilakukan tanpa menunggu harga tinggi," jelas Hizkia kepada wartawan, Kamis (27/9).
Menurutnya, untuk menjaga jumlah persediaan dan kontrol harga, pemerintah dapat memenuhi kebutuhan melalui mekanisme impor tanpa harus mengendapkan dalam bentuk cadangan dengan jumlah besar.
"Berbicara mengenai stok beras, kita harus melihat harga di pasar karena harga mencerminkan supply dan demand di masyarakat. Kalaupun Bulog mau melakukan pencadangan beras, hal itu tidak bijaksana kalau dilakukan per negara. Indonesia harus mulai melihat pencadangan beras berdasarkan kawasan menggunakan skem perjanjian APTERR yang sudah disepakati oleh negara-negara ASEAN dan Jepang, China dan Korea Selatan," papar Hizkia.
Dia menambahkan, cadangan beras sejatinya digunakan dalam rangka mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga, keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta memenuhi kesepakatan APTERR.
"Tapi pada kenyataannya Bulog tidak cukup mampu menentukan waktu yang tepat dilakukan penyaluran beras di pasar sampai akhirnya harga beras benar-benar tinggi," imbuh Hizkia yang juga kepala penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
[wah]
BERITA TERKAIT: