Larangan itu terkait adanya Permen Kelautan yang melarang empat jenis pukat itu beroperasi. Alasannya merusak habitat laut.
Akibatnya, ribuan nelayan Batubara dan keluarganya terancam kelaparan. Sebab sudah 10 hari mereka tidak boleh melaut karena adanya pelarangan dan ancaman penangkapan dari aparat penegak hukum.
M. Nasar (50), warga Kelurahan Sidomulyo mengaku berpindah profesi menjadi ojek motor. Hal ini dilakukanuntuk bertahan hidup, karena tak bisa melaut.
"Tadi saya antar uang 10 ribu ke rumah hasil ngojek nyuruh untuk beli beras. Biar keluarga bisa makan. Kami sudah susah hidup gara-gara dilarang melaut," kata Nasar kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (13/9).
Sedangkan Khairul, mengaku tidak tahu harus berbuat apa lagi karena menjadi nelayan adalah pekerjaan utamanya.
"Udah 10 hari tak melaut, ondak (mau) merokok aja susah," ungkap ayah tiga anak ini.
Ancaman sulitnya memenuhi kebutuhan hidup bukan saja dirasakan Nelayan yang sudah tidak bisa melaut. Sahrul, pengusaha penampung hasil nelayan, juga merasakan hal yang sama.
Dia menilai pelarangan yang dilakukan pemerintah tidak adil. Sebab melaut dengan pukat layang atau jenis lain yang dilarang tidak merusak habitat laut secara total, karena masih bisa diperbarui alam.
"Yang paling merusak habitat laut itu justru perusahaan besar di tepi laut yang bertebar di sekitar Pagurawan ini," beber Sahrul.
Mereka menilai Pemerintah tidak berlaku adil, karena hanya menghukum para nelayan tapi tidak menghukum perusahaan di tepi laut.
"Kerusakan laut akibat limbah bisa mencapai 6 mil laut dari tepi pantai. Inilah yang harusnya dipersoalkan," cetus nelayan M. Nasar.
Dampak larangan melaut ini juga berimbas kepada masa depan anak-anak mereka.
Kasek MTs Al Washliyah Pangkalan Dodek Mahyudanil, mengakui sudah banyak orang tua siswa yang datang minta anak mereka tidak terkena absen, jika tak masuk sekolah.
"Ini dampak larangan melaut itu," ujarnya.
‎[nes]
BERITA TERKAIT: