Anggota Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) Sidi Asmono menjelaskan, secara teoritis perusahaan sekelas PT IBU dengan teknologi modern semestinya mampu memproduksi beras lebih efisien. Teknologi canggih mampu memproduksi jauh lebih banyak, lebih berkualitas dan biaya dapat ditekan minimum, sehingga lebih efisien dibandingkan dengan yang lain. Informasi yang diperoleh menyebutkan, untuk menjual beras premium, PT IBU mengeluarkan biaya produksi 10 persen.
"Biaya produksi 10 persen ini bila dihitung dari biaya 10 persen dari output harga jual label Cap Ayam Jago di Supermarket Rp 20 ribu per kilogram, berarti biaya produksinya Rp 2 ribu per kilogram. Apakah ini efisien dan masuk akal untuk memproduksi beras diperlukan biaya sebanyak itu. Sedangkan bila biaya 10 persen dihitung dari input harga jual beras petani Rp 7.300 per kilogram maka biaya produksi Rp 730 per kilogram, dan bila dijual Rp 20 ribu per kilogram. Apakah harga jual ini wajar," paparnya dalam keterangan, Jumat (28/7).
Menurut Sidi, beras premium hasil racikan seolah menjadi mahal karena proses pencampuran dengan posisi ketersediaan beras tidak sama. Sebenarnya, disparitas harga gabah antara jenis padi yang menjadi bahan racikan hanya Rp 500 - Rp 1.000 per kilogram gabah kering panen, dan cara meracik pun tidak perlu canggih hanya butuh keterampilan saja. Rasa beras hasil racikan memang lebih enak dan harga tidak terlalu jauh dibandingkan harga beras monovalen alias non racikan.
"Beras racikan premium masih wajar bila dihargai Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per kilogram dan terasa mahal bila dijual sampai Rp 20 ribuan. Mengapa ada perusahaan menjual beras premium racikan dengan harga tinggi, misal Rp 20 ribu per kilogram. Itulah improvisasi tata niaga tapi ingat meraup untung tidak wajar adalah tidak bermoral. Apalagi ini beras merupakan barang pokok dan strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak," ujarnya.
Pada sisi lain, banyak penggilingan dan pedagang lain memproduksi beras kelas medium dengan harga jual lebih murah dan marjin yang efisien. Ini bukti biaya memproduksi beras dari beberapa usaha penggilingan ternyata relatif murah.
Ery Muhtarsyid misalnya, pemilik penggilingan padi kecil PT Dinar Mas di Karawang dan juga pelaku pasar itu mengakui bahwa harga beli gabah dari petani sekarang Rp 4.800 - Rp 4.900 per kilogram, selanjutnya diproses dari gabah ke beras dengan biaya Rp 100 - Rp 200 per kilogram. Ada nilai konversi dari gabah ke beras, dan hasilnya beras dijual pada kisaran Rp 8.600 - Rp 9.000 atau kualitas medium.
Sementara itu, Ermaya selaku pemilik penggilingan padi CV Panorama dan PT Bumi Banda Reksa di Subang, Majalengka, Bandung Selatan, Banjar-Ciamis, Jayeng- Sidareja dan Banjarnegara mengatakan bahwa harga gabah yang mereka terapkan untuk pembelian dari petani Rp 4.400 - Rp 5.400 per kilogram, dan dijual beras dengan harga per kilogramnya Rp 9.000, Rp 9.200 untuk jenis medium, dan Rp 11.200 untuk premium.
Berdasarkan informasi, kedua pelaku usaha penggilingan beras kecil, biaya proses dan angkutan rata-rata Rp 100 sampai Rp 200 per kilogram. Ini gambaran biaya produksi beras yang lebih efisien yang dilakukan lebih 180 ribu penggilingan kecil dan sedang yang tersebar di Indonesia. Sementara beberapa gelintir perusahaan kelas kakap memproduksi dan menjual dengan harga yang fantastis.
Sekedar informasi, harga jual beras kualitas premium di beberapa lokasi mencapai 20 ribuan per kilogram. Konsumen yang biasa membeli beras tersebut selama ini tidak sadar harganya termasuk mahal. Padahal semua gabah diproses menjadi beras, baik berasal dari varietas IR 64, Ciherang, Mekongga, Inpari, varietas lokal dan lainnya mempunyai kandungan gizi utama relatif sama yakni lemak 0-0,6 persen, protein 6-9 persen, dan karbohidrat 70-85 persen.
Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo baru baru ini mengungkapkan bahwa bermain di sektor pangan sangat menggiurkan. Sebab, tanpa perlu kerja keras dan hanya main kertas, namun mendapatkan untung besar.
"Coba dia kalau membeli gabah kering Rp 4.900 per kilogram tapi dia bisa menjual beras sampai Rp 13.000 per kilogram bahkan Rp 20 ribu per kilogram beras premium. Yang diuntungkan siapa," tanyanya.
Padahal, Firman mengingatkan, para pengusaha nakal tersebut tidak pernah membantu petani, baik dalam memenuhi kebutuhan bercocok tanam hingga penyediaan sarana prasarana infrastruktur. Justru, semuanya dibiayai negara melalui subsidi dan bantuan.
[wah]
BERITA TERKAIT: