Namun tidak demikian dengan warga Desa Mulya Jaya/Linang, Semendawai Timur, Oku Timur, Sumatera Selatan. Mereka digusur oleh ratusan polisi yang bersenjata lengkap atas nama Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan Karet PT.Laju Perdana.
Kepala Devisi Advokasi Jaringan Nasional Indonesia Baru, Harli Muin, PT Laju Perdana memang PT Laju Perdana memiliki hak atas tanah, tetapi perusahaan berkewajiban menghormati Hak Asasi Manusia, terlebih menjelang hari raya Idul Fitri.
"Sebagai aparat kemanan negara, polisi memang wajib menegakkan hukum, tetapi mestinya penggunaan kekuatan polisi wajib mempertimbangkan momentum dan timing yang tepat. Penegakkan hukum tidak dengan melanggar Hak Asasi Manusia," tegas Harli Muin dalam rilis pers yang diterima redaksi, pagi ini (Sabtu, 24/6).
Apa yang dilakukan Polres Kabupaten Oku Timur Kecamatan Semendawai Timur, menurutnya, merupakan pengkhianatan terhadap Sumpah Janji Polisi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 UU 2/2002 dan melanggar standar HAM mengacu Pasal 4 huruf C, Jo Pasal 5 Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Sejujurnya Polisi sendiri sudah melanggar pasal 346 KUH Pidana. Hak kebebasan menjalankan ibadah, sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU 39/1999, wajib dihormati dalam keadaan apapun," terangnya.
Apalagi sengketa lahan antara PT Laju Perdana dan Warga Desa Mulya Jaya merupakan perdata, bukan pidana.
"Bukankah polisi tidak boleh turut campur dalam sengeketa Hak. Karena warga memiliki bukti kuat dan menguasai dan mempertahankan lahan kampung yang mereka kuasai," kritiknya.
Dalam kejadian ini, ia menilai Polres Oku Timur sama sekali menempatkan diri sebagai posisi netral, yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Perkap No.8 tahun 2009.
Harli Muin menyarankan kepada pendaping Warga Desa Mulya Jaya segera melapor ke pelanggaran Kode Etik Kepolisian Negara RI dan ke Komnas HAM.
"Apa yang dilakukan Polre Oku Timur memalukan institusi polisi dan pebuatan tidak terpuji," kecamnya.
Kejadian ini menurut dia, sekaligus sinyal bagi Presiden Jokowi bahwa di tengah dirinya menggalang tolerasi dan menjamin kebebasan beragama, masih ada aparat keamanan negara tidak memahami HAM sebagai standar pelayan dasar pengamanan di Tanah Air. Untuk itulah JNIB meminta Presiden Jokowi turun tangan mendengar keluhan Warga Mulya Jaya.
[wid]
BERITA TERKAIT: