Ke MK, Sandyawan Sumardi akan didampingi para pengacara publik yang tergabung dalam "Ciliwung Merdeka". Yaitu, Alldo Fellix Januardy; Alghif Fari Aqsha; Muhamad Isnur; Rahma Mary; Handika Febrian; Azas Tigor Nainggolan; Christina Widiantarti; Sri Suryani; Ivana Lee; Yu Sing; Isnu Handono; Theresia Ajeng Ahimsa; Devill Rinaldo; Fransiskus Xaverius Angga; Gugun Muhammad; John Muhammad; Martha Suharti; Suntea Napitupulu; dan Nining Inovasia.
Sandyawan Sumardi menceritakan, pada 28 September 2016, dia sebagai pemohon bersama dengan warga Bukit Duri lainnya, telah digusur paksa oleh pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta dengan menggunakan UU 1/1961, alasannya karena pemohon tidak bersertifikat.
Hak konstitusi pemohon sebagai pemilik tanah dan bangunan yang beritikat baik dengan bukti kepemilikan tanah berupa jual-beli di bawah tangan tidak diakui oleh pemerintah.
"Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah mengambil paksa tanah milik pemohon dan menghancurkan bangunan milik pemohon dengan alasan bahwa bahwa tanah pemohon adalah tanah negara," kata dia kepada redaksi sesaat lalu.
Lanjut Sandyawan Sumardi, pihaknya mengalami penggusuran paksa tanpa mendapatkan ganti rugi yang layak berdasarkan UU 2/2012. Padahal menurut buku perencanaan proyek dan AMDAL proyek normalisasi Kali Ciliwung dikatakan bahwa tanah-tanah yang digunakan untuk pelaksanaan proyek normalisasi Kali Ciliwung merupakan tanah-tanah milik warga yang sudah dimiliki dan dihuni secara turun-temurun.
"Oleh karena itu pembebasan lahan untuk proyek normalisasi Kali Ciliwung harus dilaksanakan dengan mekanisme pembebasan lahan berdasarkan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum," demikian I Sandyawan Sumardi.
[rus]
BERITA TERKAIT: