Musala berukuran 10x10 meter itu, sanggup menampung lebih kurang 100 jemaah. Aktif saat memasuki salat lima waktu. Terutama, bagi warga yang ingin melaksanakan salat lima waktu.
Beberapa waktu lalu, terdapat poster bertuliskan pesan larangan bagi warga setempat yang meninggal dunia. Khususnya, warga yang mendukung dan membela terdakwa penista agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Nggak ada yang tahu ada spanduk larangan. Siapa yang pasang juga nggak tahu. Sekarang sih sudah dicopot. Kalau sebelum Mak (Hindun) meninggal, masih ada," tutur anak sulung Hindun, Sudarsih yang tinggal serumah, Rabu (15/3).
Warga mengenal seorang tokoh agama, Ustadz Ahmad Syafi'i (Pi'i), yang biasanya menyalati jenazah di Musala tersebut.
Konflik sosial pun muncul, saat Hindun meninggal dunia pada Jumat (10/3) lalu. Saat itu, beberapa warga, termasuk Pi'i, melayat ke kediaman Hindun di RT. 009/05.
Pi'i juga sempat berbincang dengan warga yang duduk berdekatan dengan Santo, menantu Sudarsih dari anak sulungnya, Yeni.
Saat itu, Pi'i mengingatkan warga jika tidak ada tempat di musala Al-Mukminun untuk menyalatkan jenazah warga pendukung penista agama.
"Waktu itu, jenazah Mak (Hindun) sudah dimandiin, dibungkus (dikafanin). Dibantu warga juga. Tahu-tahu ustadz ngobrol ke warga, '(Pendukung Ahok) Nggak bisa disalatin di musala (Al-Mukminun). Nggak ada orang. Termasuk yang ini juga' sambil nyolek menantu saya (Santo)," ucap wanita beranak satu bercucu dua itu.
Mendengar hal itu, Santo lantas melaporkan apa yang didengarnya kepada Neneng, anak bungsu Hindun yang menetap di rumah yang sama.
Saat Neneng mencoba mengkonfirmasi, Pi'i pun mengatakan hal yang sama. Alasannya, tidak ada orang di musala yang bisa ikut mensalati.
"Padahal orang (lelaki) di rumah (Hindun) banyak. Masa iya tidak bisa disalatin di Musala. 'Udah di rumah aja' katanya gitu. Memang akhirnya disalatin di rumah. Dia (Pi'i) imamnya," tutur Sudarsih Kantor Berita Politik RMOL.
Terkait hal tersebut, Pi'i enggan berkomentar lebih lanjut. Menurutnya, polemik Nenek Hindun sudah selesai. Bahkan, saat ditemui tak jauh dari kediamannya di kawasan tersebut, Pi'i hanya bisa meminta maaf karena tidak bersedia memberikan keterangan apapun kepada wartawan.
"Aduh, maaf banget ya Mas. Saya tidak mau bicara ke wartawan lagi," timpalnya seraya pamitan.
Seperti diketahui sebelumnya beredar informasi simpang siur terkait kondisi sosial di lingkungan tempat tinggal Hindun.
Masyarakat, digeneralisir sepakat untuk tidak bersedia menyalatkan jenazah Hindun karena dianggap mendukung Ahok.
Ketika dikonfirmasi ke sejumlah tetangga Hindundari berbagai RT dan RW justru sebaliknya. Seperti diutarakan mantan RT 009/05, Sofyan Iskandar (65).
Menurutnya, di daerah pemukiman nenek Hindun terdapat tiga organisasi masyarakat yang di tempat lain, kerap berselisih. Antara lain, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Forum Betawi Rempug (FBR) dan Pemuda Pancasila (PP).
"Di sini (Kelurahan Karet) ada tiga ormas. Ada Forkabi, FBR, dan PP. Tapi, akur-akur aja. Nggak ada kejadian kayak gini (konflik sosial). Jadi, tidak ada warga yang nolak nyolatin (mensalatkan). Saya dan warga lainnya ikut urus segala keperluan nenek Hindun. Solatin, siapin ambulans dan lainnya," demikian Sofyan.
[wid]
BERITA TERKAIT: